Wednesday 21 November 2012

Simpati vs Empati

empati n kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain

simpati n 1. rasa kasih; rasa setuju kpd; rasa suka 2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain

(Kamus Bahasa Indonesia - Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional)


Saya jadi ingat waktu berada di lab. radio kampus Fisipol UGM di Sekip bersama teman-teman. Kala itu kami tengah mempersiapkan naskah-naskah iklan gadungan buat sekadar tambah-tambah durasi siaran radio. Naskah-naskah gadungan itu kami siapkan sambil ngakak-ngikik karena toh ini cuma buat tugas kuliah Programa Siaran Radio. Hingga kemudian kami sadar bahwa kami lupa: suara kami yang 'waton bengak-bengok' di depan mikrofon itu ternyata tersiar sampai radius 2,5 km. Jadi kalau kebetulan tukang fotokopian di selatan kampus itu muter radio dan sampai pada frekuensi sekitar 107 FM, bocorlah kekonyolan kami di hadapan warga Sekip.

Salah satu iklan buatan kelompok yang paling saya ingat adalah iklan provider seluler bajakannya Simpati. Tentu saja kami tidak akan menggunakan brand tersebut. Pertama kami gak bakal untung, kedua malah kami bisa dituduh melakukan penghinaan dengan plesetan. Alhasil kami mengubahnya dengan nama 'Empati'. Provider seluler yang tak pernah ada.

Pengalaman itu kemudian menginspirasi saya untuk membuat tulisan ini. Tentang simpati dan empati. Kalau melihat definisi kamus di atas, sepertinya masih ada kerancuan. Saya sendiri jadi sulit membedakan simpati yang seperti apa dan empati itu harus bagaimana. Namun perbedaan yang paling jelas telah diterangkan oleh ilmu sosiologi. Singkatnya menurut saya, empati adalah kelanjutan dari simpati alias simpati level advance.

Gampangnya begini. Ada dua orang muda-mudi kehujanan malam hari dan berteduh di emperan toko.

Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget, dingin, brrr..."

Nah, dalam contoh kasus di atas, si muda berada pada level simpati. Kisah selanjutnya adalah si mudi mutusin si muda

Sekarang kita edit skenarionya:

Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget" (sambil memberikan jaketnya pada si mudi).

Kalau yang begini, barulah disebut empati. Karena si muda benar-benar mampu memahami perasaan si mudi, apalagi ditambah aksi nyata. Pada kasus sebelumnya, si muda asal menyetujui pernyataan si mudi tanpa mencoba memahami lebih dalam perasaan si mudi yang membutuhkan kehangatan (cieeeiilaaahh). Memang benar kata Krishna Balagita bersama bandnya, "Karena Wanita Ingin Dimengerti".

Kemampuan memahami perasaan orang ini memang tidak semudah membalikkan daun kelor. Apalagi dunia tidak selebar telapak tangan. Wajah saja bisa menampilkan ribuan ekspresi. Pokoknya jalan satu-satunya untuk terampil hanyalah berlatih berlatih berlatih. Sering berbagi dan sering mendengarkan.

Meski kuping sudah ada dua dan tidak bisa dikendalikan seperti mata dan bibir yang bisa ditutup, ternyata tindakan mendengarkan tidak selalu bisa dilakukan setiap orang. Egoisme benar-benar harus disingkirkan. Sekarang saya akan mencontohkannya lagi. Egois kurang lebih adalah seperti ini:

"Duh saya lagi sibuk, bentar ya" (dan berlalu seperti badai...)

Bukan berarti orang yang ngomong seperti itu adalah egois 100%, terkadang beberapa diantaranya memang punya skala prioritas untuk mendahulukan kepentingannya. Letak egoisnya di sini adalah orang tersebut hanya menyatakan keadaannya dan segera berlalu. Segera berlalu mungkin akan menyakitkan bagi sebagian orang yang memang sungguh ada keperluan dengan si sibuk. Maka, seseorang yang telah mampu menepis egoisme kurang lebih akan berkata seperti ini:

"Saya ada janji hari ini. Bagaimana?"

Atau, dengan menawarkan solusi segera:

"Saya ada janji hari ini. Bagaimana kalau kita ketemu lagi besok?"

Setidaknya dua kalimat di atas mencoba memahami perasaan lawan bicara dengan menanyakan saran sekaligus solusi.

Mungkin berada dalam situasi yang tidak mengenakkan juga bisa menjadi sarana belajar. Saya sudah pernah menjadi wartawan. Mungkin kalau nanti saya jadi pejabat saya akan berkata seperti ini pada wartawan: "Saya hari ini ada janji. Deadline tulisannya kapan? Oh hari ini? Kalau gitu via telepon saja gak papa kok kalau gak sempat."

Dengan syarat wartawannya ngomong baik-baik. Aih tampak terlalu ramah dan baik hati



*) edisi curcol aroma sosiologi-psikologi

No comments:

Post a Comment