empati n kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain
simpati n 1. rasa kasih; rasa setuju kpd; rasa suka 2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain
(Kamus Bahasa Indonesia - Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional)
Saya
jadi ingat waktu berada di lab. radio kampus Fisipol UGM di Sekip
bersama teman-teman. Kala itu kami tengah mempersiapkan naskah-naskah
iklan gadungan buat sekadar tambah-tambah durasi siaran radio.
Naskah-naskah gadungan itu kami siapkan sambil ngakak-ngikik karena toh
ini cuma buat tugas kuliah Programa Siaran Radio. Hingga kemudian kami
sadar bahwa kami lupa: suara kami yang 'waton bengak-bengok' di depan
mikrofon itu ternyata tersiar sampai radius 2,5 km. Jadi kalau kebetulan
tukang fotokopian di selatan kampus itu muter radio dan sampai pada
frekuensi sekitar 107 FM, bocorlah kekonyolan kami di hadapan warga
Sekip.
Salah satu iklan buatan kelompok yang paling saya ingat
adalah iklan provider seluler bajakannya Simpati. Tentu saja kami tidak
akan menggunakan brand tersebut. Pertama kami gak bakal untung, kedua
malah kami bisa dituduh melakukan penghinaan dengan plesetan. Alhasil
kami mengubahnya dengan nama 'Empati'. Provider seluler yang tak pernah
ada.
Pengalaman itu kemudian menginspirasi saya untuk membuat
tulisan ini. Tentang simpati dan empati. Kalau melihat definisi kamus di
atas, sepertinya masih ada kerancuan. Saya sendiri jadi sulit
membedakan simpati yang seperti apa dan empati itu harus bagaimana.
Namun perbedaan yang paling jelas telah diterangkan oleh ilmu sosiologi.
Singkatnya menurut saya, empati adalah kelanjutan dari simpati alias
simpati level advance.
Gampangnya begini. Ada dua orang muda-mudi kehujanan malam hari dan berteduh di emperan toko.
Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget, dingin, brrr..."
Nah, dalam contoh kasus di atas, si muda berada pada level simpati. Kisah selanjutnya adalah si mudi mutusin si muda
Sekarang kita edit skenarionya:
Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget" (sambil memberikan jaketnya pada si mudi).
Kalau
yang begini, barulah disebut empati. Karena si muda benar-benar mampu
memahami perasaan si mudi, apalagi ditambah aksi nyata. Pada kasus
sebelumnya, si muda asal menyetujui pernyataan si mudi tanpa mencoba
memahami lebih dalam perasaan si mudi yang membutuhkan kehangatan
(cieeeiilaaahh). Memang benar kata Krishna Balagita bersama bandnya,
"Karena Wanita Ingin Dimengerti".
Kemampuan memahami perasaan
orang ini memang tidak semudah membalikkan daun kelor. Apalagi dunia
tidak selebar telapak tangan. Wajah saja bisa menampilkan ribuan
ekspresi. Pokoknya jalan satu-satunya untuk terampil hanyalah berlatih
berlatih berlatih. Sering berbagi dan sering mendengarkan.
Meski
kuping sudah ada dua dan tidak bisa dikendalikan seperti mata dan bibir
yang bisa ditutup, ternyata tindakan mendengarkan tidak selalu bisa
dilakukan setiap orang. Egoisme benar-benar harus disingkirkan. Sekarang
saya akan mencontohkannya lagi. Egois kurang lebih adalah seperti ini:
"Duh saya lagi sibuk, bentar ya" (dan berlalu seperti badai...)
Bukan
berarti orang yang ngomong seperti itu adalah egois 100%, terkadang
beberapa diantaranya memang punya skala prioritas untuk mendahulukan
kepentingannya. Letak egoisnya di sini adalah orang tersebut hanya
menyatakan keadaannya dan segera berlalu. Segera berlalu mungkin akan
menyakitkan bagi sebagian orang yang memang sungguh ada keperluan dengan
si sibuk. Maka, seseorang yang telah mampu menepis egoisme kurang lebih
akan berkata seperti ini:
"Saya ada janji hari ini. Bagaimana?"
Atau, dengan menawarkan solusi segera:
"Saya ada janji hari ini. Bagaimana kalau kita ketemu lagi besok?"
Setidaknya dua kalimat di atas mencoba memahami perasaan lawan bicara dengan menanyakan saran sekaligus solusi.
Mungkin
berada dalam situasi yang tidak mengenakkan juga bisa menjadi sarana
belajar. Saya sudah pernah menjadi wartawan. Mungkin kalau nanti saya
jadi pejabat saya akan berkata seperti ini pada wartawan: "Saya hari ini
ada janji. Deadline tulisannya kapan? Oh hari ini? Kalau gitu via
telepon saja gak papa kok kalau gak sempat."
Dengan syarat wartawannya ngomong baik-baik. Aih tampak terlalu ramah dan baik hati
*) edisi curcol aroma sosiologi-psikologi
No comments:
Post a Comment