Wednesday 21 November 2012

Legenda Untuk Anak

Malam ini saya membaca salah satu simpanan ayah saya yang bertahun-tahun tak disentuh. Setelah usia saya menginjak kepala dua, barulah saya minta izin untuk membersihkan simpanan itu dari debu, membaca, dan mencoba menemukan sesuatu yang berharga. Simpanan itu bernama "Dibawah Bendera Revolusi". Malam ini saya baru membaca bagian pertama, berniat mencari apa yang bisa dikagumi dari sosok Soekarno. Meski sembari gatal-gatal dan hampir bersin-bersin, saya akui tulisan presiden pertama Indonesia ini memang benar-benar 'hidup'. Rasanya memang mengagumkan sekali punya presiden dengan gaya tulisan seperti ini. Oke, mungkin lain waktu saya bisa bercerita lebih lengkap setelah tuntas membacanya.

Kegiatan bersama buku tua itu saya hentikan manakala ayah dan ibu terdengar asyik dan 'gayeng' menonton TVRI Jogja yang sedang menyiarkan semacam acara Koes Plus-an. Usut punya usut, teman ayah saya jadi salah satu penonton di acara itu. Saya jadi ikut nimbrung dengan banyak alasan. Pertama, berniat ikut mendengarkan ayah dan ibu mengobrolkan Koes Plus laksana anak muda sekarang mengobrolkan Sm*sh dan Cherrybelle. Keren sekali ayah dan ibu bercerita sampai ke personel-personelnya. Maklum saya agak buta Koes Plus.

Kedua, saya jatuh cinta dengan The Beatles akibat nekat minta seluruh file albumnya dari seorang teman. Koes Plus banyak dibilang mengekor The Beatles. Saya berpikiran serupa dan langsung merasa bersalah beberapa menit yang lalu. Benar juga. Semua musisi di dunia ini pasti selalu ter-influence oleh musisi-musisi pendahulunya. Lagipula tidak sampai terjadi jiplak-jiplakan parah. Koes Plus hanya membuat musik seperti The Beatles tetapi dengan sentuhan yang lebih dapat diterima masyarakat Indonesia. Maka Rus Darmawan dalam buku "The Beatles or Koes Plus" membedakan dua band ini. The Beatles adalah 'kecerdasan dunia' karena menyajikan keragaman dramatika vokal dengan berbagai modulasi dan teknik komposisi. Sementara Koes Plus adalah 'kearifan Indonesia' karena mampu melumat rock 'n roll menjadi musik yang lebih bisa diterima oleh kearifan lokal bangsa Indonesia (resensi lengkap buku "The Beatles or Koes Plus" bisa dilihat di sini).

Waktu pun mengalir dengan hangat di ruang TV ketika lagu-lagu Koes Plus dibawakan oleh komunitas penggemarnya. Walau saya agak buta, saya masih bisa ikut tebak-tebakan lagu dengan ayah dan ibu, dan saya tidak payah-payah amat: Nusantara I, Kolam Susu, Kripik Tempe. Lumayanlah! :D

Jadi, yang tengah terjadi di ruang TV malam ini adalah pengenalan legenda dari orangtua kepada anaknya. Orangtua akan ngotot bahwa band favoritnya ini tak tertandingi oleh siapapun meski anaknya juga punya pandangan sendiri tentang band-band masa kini. Sebuah konflik antargenerasi yang menyehatkan.

Sekarang saya merenung, siapa saja yang bakal jadi legenda untuk saya ceritakan kepada anak-anak saya nanti. Semoga suami saya nanti juga punya cerita legendanya yang keren.

Apakah yang ini?


 

Atau pemuda-pemuda Liverpool ini?


 

Tapi, mereka juga perlu tahu band sukses asal tanah kelahiran ibunya:


 

Juga yang 'Roman Picisan'-nya menyayat-nyayat senar biola:


 

Dan yang menggigit:


 

Tak lupa, meski saya kurang setuju beliau mengecam The Beatles dan melarang laki-laki menggondrongkan rambut, saya tetap akan memperkenalkan ini:


 

Tapi juga rajinlah salat dan mengaji anakku :)

Originally posted on February 1st 2012

No comments:

Post a Comment