Monday 3 December 2012

Kisah Newsweek dan Importir Kelas Kecebong

Keahlian atau pengalaman dapat diukur dalam kelas-kelas yang masing-masing diwakili dengan nama ikan. Sebut saja kelas kakap untuk yang sudah sangat ahli dan kelas teri untuk yang masih minim pengalaman. Mungkin ada juga kelas lele atau bandeng untuk yang berkeahlian sedang atau khusus. Bisa Anda bikin sendirilah kategorisasinya.

Kali ini, saya termasuk dalam kelas kecebong dalam kegiatan impor barang. Saya anggap kecebong jauh lebih kecil dari teri, sekaligus terlupakan. Ya bukan nama ikan sih, tetapi setidaknya masih hewan air juga. Dalam hal ini, saya sangat jauh dari yang namanya minim pengalaman alias: tidak punya pengalaman sama sekali.

Semua bermula ketika seorang teman saya, Beryl, menjadi beatlemania kelas bandeng. Sebagai sesama beatlemania kelas bandeng, kami pun mengobrol dan tukar-menukar harta karun berupa dokumen-dokumen The Beatles, mulai dari musik, video klip, film, sampai dokumenter. Hingga kemudian Beryl menunjukkan terbitan Newsweek edisi khusus yang sampulnya memajang band favorit saya tersebut.

Sebuah terbitan yang cukup membuat mulut menganga, dengan tebal 98 halaman, full color, dan full hanya berisi The Beatles. Lengkapnya, terbitan ini bertajuk NEWSWEEK Special Commemorative Issue: The Beatles - 50 Years Since The Music Started. Terbit pada musim semi 2012. Dan yang lebih mencengangkan, harganya Rp 55.000,- (plus PPN sih)! Harga yang murah untuk sebuah majalah yang akan menjadi memorabilia.

Usut punya usut, Beryl meminjam majalah tersebut dari teman kami juga, yang membelinya di Jakarta. Kami pun sepakat berburu barang murah tersebut. Namun sayangnya, toko buku Periplus sudah tidak memiliki stoknya, bahkan meski Beryl sudah mengirim email ke Periplus pusat. 

Selanjutnya, saya beraksi dengan menghubungi PT Indoprom, distributor resmi majalah Newsweek di Indonesia. Langkah pertama adalah menelepon kantor cabang Indoprom di Jogja. Masalah mulai muncul ketika mas-mas di seberang telepon menanyakan 'spring' alias musim semi itu bulan apa *ngakak tingkat dewa*. Indonesia yang tidak menggunakan musim sebagai penanda waktu terbitan tentunya menjadi bermasalah dalam hal ini. Bayangkan ada majalah Tempo Edisi Khusus Penghujan 2012

Saya kemudian mengacu pada waktu di mana teman saya membeli majalah tersebut, yakni sekitar Maret 2012. Masalah kembali muncul karena saya menelepon distributor pada Oktober 2012. Tentu saja sudah tidak ada stoknya. Tapi ini cuma majalah, jangan menyerah!

Dilanjutkan dengan mengirim email ke PT Indoprom di Jakarta, saya hampir bahagia karena mereka bersedia mengirimkan majalah tersebut asal saya beli dua kopi. Tentunya yang satunya buat Beryl. Atau saya jual lagi, whatever! Saya langsung me-reply persetujuan secepat kedipan. Sembari membayangkan asyiknya membaca majalah tersebut, email datang lagi: ternyata seluruh stok majalah pada bulan Maret 2012 sudah di-destroyed. Entahlah dengan cara apa, digilas atau dibakar T.T

Saya kembali mengirim SMS pada Beryl mengenai masalah tersebut. Ternyata Beryl juga tidak menyerah sampai di situ saja. "Aku mau coba beli dari luar negeri," demikian ketikan SMS yang sampai ke ponsel saya.

Sebenarnya saya sendiri juga sudah melirik terbitan ini di Amazon dan eBay. Namun saya masih maju dan mundur karena harganya yang masih di luar kewajaran, yakni antara 8-17 dollar. Sangat jauh dibandingkan dengan harga eceran Newsweek di Indonesia. Saya mencoba mengirim email pesanan ke banyak distributor spesialis majalah impor bekas. Lapak-lapak di Kaskus juga saya jelajahi. Namun hasilnya nihil.

Untuk sementara waktu, saya memendam keinginan akan majalah tersebut. Tapi pikiran tidak bisa lari. Sekali waktu saya masih suka semacam bikin wishlist di eBay dengan membuka-buka situs tersebut, sekadar memandangi keinginan yang tertunda *halah*

Hingga pada akhir Oktober 2012, saya kebetulan sedang membuka situs eBay dan menemukan penawaran baru dari sejumlah lapak, tentunya dengan harga yang jauh lebih murah, 4-7 dollar. Kali ini saya sudah berniat untuk membelinya, harus. Masalah yang kemudian muncul adalah saya tidak punya kartu kredit dan akun Paypal.

Ini cuma majalah, jangan menyerah. Saya pun mencari-cari jasa perantara impor barang di internet dan menemukan satu yang paling yahud karena responnya cepat dan biayanya cuma Rp 10.000: Jasaperantara.com ^^

Saya tinggal memasukkan tautan barang yang akan dibeli dan cling...rincian biaya sekejap sudah keluar. Setelah itu biaya bisa langsung ditransfer dan setelah menerima bukti pembelian ke penjual, kita tinggal menunggu dan duduk manis menanti pak pos.

Menunggunya memang menunggu dalam tingkatan parah, 3 minggu. Barulah benda ini muncul di bawah pintu kamar saya yang terletak di sebelah ruang tamu: sebuah amplop cokelat dari Massachusets. Rupanya pak pos atau tukang paket menyelipkannya langsung ke kamar saya, spesial sekali :D



Berjuta rasanya ketika pertama kalinya dalam hidup mendapat kiriman dengan label US Postal Service seperti ini. Sekaligus bahagia karena ini adalah puncak perjuangan saya mendapatkan majalah ini *berhebohan*. Nah, saya juga jadi tahu nama pemilik lapaknya, hahaha:


Barang ini dikirim pada 2 November 2012 dan tiba di kolong pintu kamar pada 20 November 2012. Wow, perjalanan yang sangat panjang. Saya membayangkan jangan-jangan majalah ini sempat terinjak-injak di pemeriksaan bea cukai.


Dan salah satu sisi tidak enak membeli barang dari luar negeri adalah barang tersebut harus diperiksa dulu ketika tiba di Indonesia, bahkan sebelum disentuh pemiliknya. Jadinya tiba di tangan sudah terkoyak begini:


Yang penting perjuangan saya berakhir, ini dia penampakannya:


Ini cuma majalah, jadi jangan menyerah. Apalagi ada masalah, harus pantang menyerah. Bisa dibilang, usaha saya lumayan besar untuk majalah ini. Tapi saya meniatkannya untuk menjadi semacam self-rewarding karena sudah berkutat dengan skripsi sambil bekerja selama setahunan. Saya baru akan membacanya selepas ujian skripsi :)

Setidaknya, meski belum dapat mewujudkan mimpi pergi ke luar negeri, saya beli dulu barang dari luar negeri, wakakaka. Siapa tahu semuanya berawal dari menjadi importir kelas kecebong begini ;)

Wednesday 28 November 2012

Sukarno dalam Bingkai Kisah Asmara





Ini adalah buku yang pertama kali saya beli di Jogja Book Fair 2012 lalu. Tanpa list buku yang akan dicari, saya hanya mengitari seluruh stan buku dan berharap mata ini menemukan sebuah buku yang paling 'cling' di antara banyak buku lainnya.

Saya melewati semua stan dan hanya mampir ke stan yang buku-bukunya tampak menarik. Sempat frustrasi juga karena pada awalnya, buku-buku yang terpajang adalah jenis-jenis gak recommended, misal buku-buku panduan, entah memasak, lulus psikotest, sampai cara pedekate. Hingga kemudian di ujung gedung, saya memasuki stan penerbit Jalasutra. Awalnya mata saya tertuju pada berbagai macam biografi tokoh Indonesia yang cukup menarik, termasuk biografi beberapa istri Soekarno. Tiba-tiba, Soekarno dan segala tetek-bengeknya selalu bikin saya penasaran.

Karena tidak terlalu mengenal karakter masing-masing istri Soekarno, saya jadi ragu-ragu untuk memilih salah satu diantaranya. Lalu, buku inilah solusinya. Kesembilan istri Soekarno ada dalam buku ini. Awal ketertarikan saya bermula ketika melihat foto Soekarno dan Marilyn Monroe pada tahun 1965 di sampul belakang buku ini. Ya, semasa kecil saya pernah melihat televisi menayangkan Soekarno dan si cantik Marilyn Monroe dalam satu frame. Namun saya tak tahu ada apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Saya mengharapkan jawabannya ada di dalam buku ini.

Kedua, saya tertarik pada kutipan dari Tempo, 10 Juni 2001, yang ikut terpampang di sampul belakang:

"Kecantikan perempuan adalah besi berani yang tak pernah berhenti memikat Sukarno hingga masa senja hidupnya."

Yak, dan saya makin penasaran. Seorang presiden yang pernah menikahi sembilan orang perempuan, beberapa diantaranya poligami. Bagaimana itu semua bisa terjadi? Konon katanya Soekarno memang memiliki pesona yang luar biasa dan hampir semua wanita akan bertekuk lutut padanya. Saya tetap penasaran karena saya termasuk perempuan yang cukup skeptis dengan gombalan.

Saya sedikit kecewa. Ternyata tak satu pun hubungan Soekarno dengan Marilyn Monroe tercantum dalam buku ini melainkan foto. Namun, saya mendapati hal lain yang sangat menarik dari buku ini. Tentang kisah cinta Soekarno pada masing-masing istrinya, yakni Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryatie, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar. Di luar kesembilan wanita tersebut, masih ada saja wanita-wanita di luar sana yang mengaku pernah dinikahi Soekarno. Dan, kesimpulan saya cuma satu: Soekarno mudah sekali jatuh cinta.

Soekarno akan cepat sekali jatuh hati pada kecantikan, keanggunan, kesantunan, dan kepandaian seorang wanita. Entah wanita berusia belasan atau wanita yang jauh lebih tua darinya. Tampaknya Soekarno pun memiliki alasan atas tindakannya, seperti ketika ia tengah risau dengan mimpinya:

"Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau di dalam senyuman yang indah dari gadis cantik itu terdapat pula Tuhan, apakah dengan mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat kejahatan? Tidak kalau begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis cantik itu, apabila senyuman itu pancaran dari Tuhan dan Dia menciptakan gadis cantik itu sedangkan hanya mengagumi ciptaannya itu, mengapakah dianggap dosa kalau aku memetiknya." (hal. 83)

Bagi Soekarno, wanita adalah makhluk ciptaan Tuhan yang patut disyukuri dengan cara mengaguminya, yah begitulah.

Kalau saya adalah seorang gadis ABG pada tahun 1965, akankah saya juga jatuh cinta pada Soekarno? Entahlah. Yang pasti, saya akan menjadi penggemar The Beatles yang pada tahun tersebut sukses dengan album Help! dan Rubber Soul.


Judul: Istri-istri Sukarno
Penulis: Reni Nuryanti dkk
Penerbit: Ombak, 2007
Jumlah halaman: 271

Sumber gambar: http://penerbitombak.com/toko/index.php?route=product/product&product_id=107

Friday 23 November 2012

Yakin Sudah Mahir Microsoft Word?

Rasanya cupu sekali kalau hari gini seorang mahasiswa masih membaca buku tutorial komputer dasar yang selalu tebal ampun-ampunan dan penuh gambar hasil printscreen. Apalagi kalau judul bukunya adalah "Cara Cepat Mahir Microsoft Word 2007". Bisa jadi kita akan menjadi bahan tertawaan camat se-Indonesia.

Yah, mahasiswa memang diasumsikan sudah pandai mengetik dengan komputer di luar kepala. Ya, tentu saja komputernya ada di luar kepala bukan? (malah melantur)

Pertanyaan pada judul di atas tidak hanya ditujukan pada orang-orang di luar sana, tetapi juga saya sendiri. Mungkin saya sendiri sebenarnya juga perlu buku-buku semacam itu. Bahkan setelah bertahun-tahun bercengkerama bersama piranti lunak olah kata ini, dengan berbagai pembaruan versinya, saya masih juga tak kenal baik dengannya. Momen penyusunan skripsi sepertinya menjadi suatu 'paksaan' untuk pedekate lebih ekstrem dengan--sebut saja--MS Word.

Dan...dengan malu...saya umumkan, bahwa saya baru kenalan dengan fungsi track changes pada tahun ini. Betapa sebenarnya MS Word sudah berniat memudahkan, tetapi sayanya saja yang tidak peka, ckckck. Fungsi ini memang sangat berguna. Kita tidak perlu kehilangan ketikan sebelumnya ketika menyunting sebuah berkas. Bahkan bisa memberikan komentar untuk evaluasi pada setiap bagian berkas yang diinginkan. Saya jadi membayangkan, tentu tidak akan ada lagi penebangan hutan berlebihan jikalau dosen bersedia meneliti skripsi mahasiswa dengan track changes, bukan printout seperti yang sudah-sudah. Mengenaskan sekali memandang printout-printout bekas bimbingan yang kini tebalnya menyaingi tebal buku "Di Bawah Bendera Revolusi".

Lebih tidak peka lagi ketika saya melakukan hal konyol ini setelah menyelesaikan draft pertama skripsi lengkap: membuat daftar isi secara manual!  

I swear! I did it manually!

Jadi saya benar-benar menciptakan file terpisah, mengetikkan bab dan subbab, kemudian menuliskan satu persatu halamannya. Entah saya malas, gaptek, tidak peka, atau kombinasi ketiganya. Yang ada di otak saya hanya membuatnya secara manual.

Kemudian ketika selo datang, saya pun menerawang. Rasa-rasanya tidak mungkin penerbitan sekelas Gramedia Pustaka Utama membuat daftar isi novelnya J.K. Rowling secara manual. Alamak tidak canggihnya. Buat apa Microsoft bikin versi baru tiap tahun kalau harus manual juga bikin daftar isi. Atas dasar itulah, inspirasi datang. Saya langsung mengetik keyword "membuat daftar isi di microsoft word" di Google. Ternyata daftar isi memang bisa dibuat secara otomatis menggunakan Microsoft Word 2007! --> tiba-tiba boneka Pop Mie datang dan berucap "Selamat! Kamu berhasil!"

Saya langsung membuka tautan yang terletak di baris paling atas situs pencari Google, tepatnya yang ini. Saya sungguh berterima kasih pada siapapun yang membuat postingan tersebut. Sederhana tetapi sangat berharga. Semoga penulisnya lancar rezeki.

Setelah saya ikuti langkah-langkah di postingan tersebut dengan cermat seperti pak camat, saya pun BERHASIL membuat daftar isi secara otomatis plus rapi jali:


Lalu apa saja yang saya lakukan sebagai mahasiswa ilmu komunikasi konsentrasi media dan jurnalisme selama ini, sampai-sampai tidak kenal dekat dengan MS Word? Tanyalah pada Inul yang bergoyang :)




Wednesday 21 November 2012

Jamnya Kecepetan!

Katanya banyak orang takut mati. Logikanya, kalau begitu orang tak mau waktu bergulir cepat, karena kematian akan segera datang. Tapi kenyataannya banyak sekali orang Indonesia (sepengetahuan saya sebagai orang Indonesia tulen) yang tidak patuh pada GMT alias Greenwich Mean Time, patokan waktu seluruh bagian dunia. Banyak orang Indonesia yang hobi mempercepat waktu di jam masing-masing.

    Ada banyak alasan orang melakukan ini. Biasanya antara tidak mau kesiangan, hingga membunuh kejenuhan. Mungkin pada saat melakukan hal ini, orang-orang lupa bahwa mereka sengaja mempercepat waktu padahal mereka belum siap bertemu masa depan termasuk kematian.

    Tapi buat saya, mempercepat jam dinding, jam weker, jam tangan, jam laptop, dst adalah kesia-siaan belaka. Buat apa saya mempercepat waktu, toh saya juga tahu jamnya sudah saya percepat, itu tidak akan memberikan efek apa-apa. Dengan penuh kesadaran saya akan langsung menghitung waktu sebenarnya sebelum dipercepat. Kecuali orang lain mengutak-atik jam kita tanpa bilang-bilang. Ini yang paling efektif, karena kita tak tahu jam sudah salah menunjukkan waktu. Hal kecil seperti ini yang sering dilupakan, esensial tapi berpengaruh *halah

    Berdasarkan pengalaman seadanya, pihak-pihak yang suka serampangan mempercepat waktu adalah ibu rumah tangga, SPBU, dan sejumlah perkantoran. Ibu rumah tangga punya alasan jelas, biar anak dan suami tidak malas-malasan. Akan sangat efektif kalau si ibu melakukan ini diam-diam, bukannya koar-koar. Tapi tetap saja ini berisiko, mengingat jam di rumah tak cuma satu. Si ibu bisa langsung kena tuduhan telak sebagai tukang kebut jam.

    Sekitar 3 SPBU di Jogja jam dindingnya terlalu cepat setengah jam. Entah untuk alasan apa yang satu ini. Mungkin biar bisa cepet-cepet pulang kerja. Mungkin ini juga alasan percepatan jam di perkantoran.

    Sementara jam-jam umum khas Jogja seperti di Ngejaman dan perempatan Gramedia Jl. Sudirman menunjukkan waktu yang cukup tepat bahkan malah lebih lambat. Mungkin karena kota Jogja ingin waktu tak segera berjalan, karena masa depan penuh ancaman yang bakal menyerang kota seperti Jogja.

    Dan kalau jam berjalan mundur, di Jogja saya cuma menemukan di toko kaset Popeye. Mungkin karena Popeye ingin kembali ke kejayaan masa lalu di mana banyak orang masih beli kaset. Postingan terkait ini bisa dibaca di sini.

    Berhubung hidup di dunia cuma sekali, cuma sebentar, kenapa musti buru-buru? Gunakan waktu untuk menikmati dunia sembari menabung untuk menghuni surga dan mengejar ridho-Nya.

Pergi ke Luar

Saya suka iri dengki sendiri kalau melihat orang yang bisa main ke luar negeri. Melihat teman saya yang biasanya main sama saya terus bisa menginjak tanah Amerika. Melihat teman yang ikut pertukaran pelajar ke Jerman. Kagum dengan mereka yang bisa kuliah di luar negeri, bisa piknik ke luar negeri, punya saudara di luar negeri, dapat suami orang luar negeri, bekerja di  luar negeri, manggung di luar negeri, kompetisi di luar negeri. Pokoknya semua orang yang punya unsur luar negeri dalam hidupnya. Saya juga punya sih, kakek-nenek saya naik haji ke luar negeri :D (tetap saja bukan saya yang ke luar negeri)

    Banyak sensasi dan pengalaman baru yang kita rasakan kalau bisa pergi ke luar negeri. Tapi bukan hanya sekedar pengalaman pegang paspor, naik pesawat, dan bisa ngemeng bahasa Inggris yang saya cari. Lebih dari itu. Belajar budaya dan mencoba merasakan bagaimana ketika kita menginjak negeri orang.

    Saya juga mau banget mengikuti gaya hidup orang luar negeri, pastinya yang positif dan tidak merusak karakter saya sebagai orang Indonesia. Misalnya saya nggak bakal pakai rok mini dan baju  kurang bahan. Saya juga nggak akan kawin sebelum nikah, haha.

    Beberapa hal yang dilakukan orang luar negeri yang mau banget saya tiru misalnya pepohonan, naik angkutan umum, dan sepedaan/jalan kaki. Saya melihatnya asyik sekali orang-orang Eropa naik sepeda lipat menuju pemberhentian bus, terus sepedanya dilipat, naik bus, dan ketika turun naik sepeda lagi sampai tempat tujuan. Praktis banget. Masalahnya kalau ini diterapkan di Indonesia, banyak berabenya. Pertama, sepeda adalah kendaraan yang terpinggirkan di jalanan, bisa-bisa tidak ada yang membela kalau kita keserempet ketika bersepeda. Kedua, jalanan di Indonesia miskin pepohonan, ditambah dengan iklim tropis, yang ada bersepeda malah bawa penyakit: kepanasan, dehidrasi, dan kulit gosong. Sudah begitu kalau terpaksa kita pulang malam, bisa-bisa dipalak orang.

    Saya juga suka merasa iri lihat orang-orang di luar negeri banyak yang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Osteoporosis bakal minggat. Bahkan orang-orang berdasi pun ikut jalan kaki. Jumlahnya lebih banyak dari kendaraan di jalan, jadi trotoarnya pun gede banget. Ketika menyeberang, pejalan kaki yang jadi raja. Di Indonesia, nyebrang seenak jidat di zebra cross sekalipun, artinya sama dengan siap ditabrak lari.

    Kebersihan dan kedisiplinan juga super-duper ampuh kerennya. Lantai trotoar sama bersihnya dengan lantai toko di Indonesia. Saya yakin gak akan kenapa-kenapa kalau tiduran di atas trotoat seperti di Singapore. Mungkin karena banyak orang berjalan kaki, bersepeda, atau naik angkutan umum, mereka jadi lebih bijak mengatur waktu, jadi tidak sudi main molor. Ya, makanya pepatah time is money datang dari orang luar negeri.

    Yah orang luar negeri memang mengagumkan. Catatan, tentu luar negerinya bukan Kamboja atau Ethiopia. Salah satu cita-cita saya adalah pergi ke luar negeri selain naik haji. Namanya saja “pergi ke luar”. Yang namanya pergi ke luar, maka kita keluar dari apa yang selama ini ada di sekitar kita, keluar dari zona nyaman, keluar dari hal-hal biasa. Keluar adalah salah satu cara untuk maju. Salah satunya, pergi ke luar negeri.

Mengungkapkan Ketidaktahuan

Apa-apa yang kita ungkapkan dan keluar dari mulut atau dalam bentuk tulisan pastinya adalah sesuatu yang sudah kita tahu kecuali kalau ungkapannya berbentuk pertanyaan. Tentu jauh lebih mudah mengungkapkan sesuatu yang kita tahu. Makanya dosen sering menugaskan kita untuk mengungkapkan apa yang kita tahu misalnya mereview bab yang diinginkan, bab yang paling dipahami, atau menjawab soal yang diinginkan (kalau soalnya bisa dipilih).

Baru kali ini ada dosen meminta mahasiswanya menuliskan bab yang paling tidak dipahami. Ini tugas ujian akhir. Sang dosen meminta tugasnya diketik satu halaman dan terdiri dari dua paragraf. Paragraf pertama adalah tentang bab apa yang paling tidak dipahami, dan paragraf kedua adalah tentang mengapa tidak paham. Betapa girangnya dapat tugas macam begini.

Tapi ternyata tugas ini mematikan sekali. Setelah ngobrak-abrik materi, yang ada hanya bingung dan kekosongan. Setelah membaca semua materi, saya merasa paham tidak, tak paham juga tidak. Sebenarnya ada juga sih yang nggak paham. Tapi itu cuma karena saya belum mencarinya saja di google atau perpustakaan. Masa iya saya mau memasukkan yang belum dicari di google itu dalam tugas, jangan-jangan dikira dosen saya nggak bisa ke perpus ato gak bisa internetan.

Setelah beberapa bagian dicari di google, lhah malah jadi mudeng semua materinya. So, kebingungan mampir lagi. Akhirnya saya ambil acak salah satu materi dan mempertanyakan hal-hal yang mengada-ada terkait bab tersebut, dan saya tidak tahu kenapa saya tidak paham, itu masalahnya. Padahal poin nilai tertinggi ada di pertanyaan mengapa tidak paham. Dosennya nggak salah, otak saya juga normal, jadi apa kira-kira yang bikin tidak paham. Jadilah tugas yang cuma satu halaman itu selesai dalam waktu berjam-jam diselingi piknik di situs jejaring sosial. Ternyata teman-teman banyak juga yang mengeluh malah jadi mudeng sama materi dosen tersebut, kemudian bingung bagaimana mengerjakannya. Memang sok pinter kami semua, hehe.

Kesimpulannya sekarang, mengungkapkan apa yang kita tak tahu itu susah. Kadang kita juga tak tahu sebenarnya apa yang kita tak tahu. Apalagi kenapa kita tak tahu. Pertanyaan yang sangat reflektif dan butuh bertapa di bawah pohon bodhi.

Kampung Portal

Ternyata kampung sebelah lebih parah dari kampus saya. Portal di mana-mana dan saya sudah jadi korban untuk pertama kalinya pada malam ini.

Saya cerita dulu ya. Sejak lama, keluarga saya memang agak kurang suka dengan kampung sebelah. Kesannya tidak selalu bagus. Saya pun juga jadi punya pemikiran yang sama. Mulai dari hal-hal kecil sampai yang mengguncang seperti malam ini.

Pertamanya sih cuma iri-iri kecil karena kampung sebelah gak pernah yang namanya mati listrik. Di kala kampung saya sedang panik cari lilin ketika diputus PLN, kampung sebelah bisa-bisanya tetap terang-benderang. Dan selalu seperti itu. Perbandingan frekuensi pemadaman bisa jadi 1:10 atau lebih, sungguh! :D

Kedua, kampung sebelah juga membuat polisi tidur yang ngawur dengan jumlah dan jarak yang ampun-ampunan. Terbuat dari komposisi semen asal yang membuatnya sangat keras, tinggi gundukan yang ngasal, juga jarak yang berdekatan. Belum sampai ban mobil belakang bernafas pasca melewati gundukan, ban depan sudah nubruk gundukan lagi.

Ketiga, kerap kali mengadakan pesta pernikahan dengan menutup jalan. Entah bagaimana ceritanya kampung sebelah seriiiiing sekali ada nikahan. Banyak orang terpaksa balik arah karena gak bisa melintas.

Keempat, ya portal itu tadi. Jadi, di setiap jalan keluar yang berbatasan dengan kampung lain, ada portal yang ditutup pukul 22.00-05.00. Masih mending UGM. Semua gerbang ditutup tapi at least boulevard buka 24 jam. Kampung ini sama sekali tidak memberikan gang yang terbuka ketika sudah masuk jam malam tersebut.

Nah, bagaimana saya bisa menjadi korban?

Ceritanya saya menghadiri undangan seorang teman yang ulang tahun di sebuah tempat makan. Sepulang dari acara, waktu masih menunjukkan pukul 21.00. Biasanya saya pulang lewat jalan menuju Seturan dari arah Jl. Laksda Adisutjipto Km. 6. Tapi kalau malam, jalan tersebut gulita gelapnya jadi saya milih lewat Gang Dirgantara samping kampus Universitas Atmajaya. Sedikit ngalang, yang penting jalannya rame.

Biasanya juga, saya langsung belok kanan ke utara menuju kampung saya. Berhubung ban motor saya kempes, entah kenapa masuklah saya ke gerbang kampung sebelah dan berniat lurus terus cari tambal ban. Saya kirim pesan singkat ke ayah, bertanya tukang tambal ban mana yang masih buka. Ayah saya malah menyuruh saya menunggu di situ saja. Sebagai anak berbakti, saya turuti perintah ayah.

Beberapa waktu kemudian, saya mendengar ayah berteriak-teriak memanggil di belakang saya. Aduuuh, Abah...kenapa harus teriak? Saya pun noleh ke belakang dan GUBRAK! Ayah saya terpaku 15 meter dari posisi saya, gak bisa maju karena: portal telah ditutup. Yak! Sudah pukul 22.00. Astaga!

Bingung bukan kepalang. Saya terjebak di kampung sebelah. Semua jalan keluar telah ditutup. Padahal rumah saya jaraknya tinggal 200-an meter saja, konyol. Bisa-bisanya saya gak sadar ada yang nutup gerbang. Dan saya mulai berimaji liar bakal tidur di jalanan kampung sampai jam lima pagi.

Saya dan ayah mulai keliling tanya-tanya siapa yang bawa kunci gembok. Ada seorang mas-mas yang mau bantu nanya-nanya walaupun dia juga gak tahu siapa juru kuncinya. Kami lalu mendatangi salah satu rumah warga yang kebetulan penghuninya belum tidur. Sungguh parah, tidak ada yang tahu pasti siapa yang pegang gembok. Parahnya lagi, pembawa kunci tiap gerbang juga beda orang. Kampung ini hobi bercanda memang.

Akhirnya setelah keliling, kami temukan juga si pembawa gembok dan gerbang pun dibukakan untuk seorang gadis malang yang bannya bocor dan (bisa-bisanya) terkunci di dalam. Motor pun dituntun dengan mesin menyala hingga tiba di rumah. Alhamdulillah...sampai di rumah dengan selamat.

Alhamdulillah saya tidak tinggal di kampung sebelah. Bayangkan, kalau tinggal di kampung sebelah, gak bakal bisa yang namanya nonton konser, nonton wayang, nongkrong dan belajar di kampus sampai malam, kecuali menginap di luar. Gimanaaa ya nasib mahasiswa yang tinggal di kampung sebelah. Pantes, jumlah kos-kosan sedikit.

Pesan saya sih, tidak apalah ada portal demi keamanan, tapi tolonglah ada sisa satu gerbang yang dibuka. Masak di kampus portal di kampung juga portal.

Anyway, thanks Abah :)

Klakson

Bicara tentang klakson, sepertinya ini adalah suatu hal yang tidak mengenakkan. Karena klakson biasanya berbunyi dalam situasi yang tidak menyenangkan. Lalu lintas padat dan detik-detik menjelang kecelakaan adalah beberapa contoh kejadian tak menyenangkan yang disertai bunyi klakson.

Yang paling membuat saya sebal adalah klakson yang berbunyi ketika lalu lintas padat dan traffic light menyala merah. Bisa-bisanya si pemilik kendaraan membunyikan klakson saat lampu merah. Suatu perbuatan yang tidak akan mengubah keadaan kecuali hanya menambah polusi suara. Ayah saya akan bilang: "Mabur kono!" dan dosen saya pernah berkomentar: "Uncivilized!"

Klakson bisa dibilang juga punya emosi negatif. Teman saya ada yang tidak mau membunyikan klakson kecuali dalam keadaan yang sangat sangat terpaksa. Teman saya itu merasakan tidak enaknya diklakson karena itulah dia tidak membunyikan klakson dan saya setuju dengan pendapatnya. Saya pun ikut-ikutan.

Saya jadi ingat lokasi KKN saya di Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul. Awalnya saya heran dengan kebiasaan orang-orang di sana yang suka membunyikan klakson. Ternyata fungsi klakson di sana bergeser: jadi alat untuk tegur sapa. Bahkan ada yang benar-benar lewat depan rumah orang, nggak nengok, hanya membunyikan klakson dan sang penghuni rumah menjawab sapaan klakson tersebut dengan wajar. Yah, klaksonnya jadi semacam pertanda kalau "saya melintas".

Tapi sampai sekarang, saya masih menganut teman saya. Tidak akan membunyikan klakson kecuali terpaksa.

Legenda Untuk Anak

Malam ini saya membaca salah satu simpanan ayah saya yang bertahun-tahun tak disentuh. Setelah usia saya menginjak kepala dua, barulah saya minta izin untuk membersihkan simpanan itu dari debu, membaca, dan mencoba menemukan sesuatu yang berharga. Simpanan itu bernama "Dibawah Bendera Revolusi". Malam ini saya baru membaca bagian pertama, berniat mencari apa yang bisa dikagumi dari sosok Soekarno. Meski sembari gatal-gatal dan hampir bersin-bersin, saya akui tulisan presiden pertama Indonesia ini memang benar-benar 'hidup'. Rasanya memang mengagumkan sekali punya presiden dengan gaya tulisan seperti ini. Oke, mungkin lain waktu saya bisa bercerita lebih lengkap setelah tuntas membacanya.

Kegiatan bersama buku tua itu saya hentikan manakala ayah dan ibu terdengar asyik dan 'gayeng' menonton TVRI Jogja yang sedang menyiarkan semacam acara Koes Plus-an. Usut punya usut, teman ayah saya jadi salah satu penonton di acara itu. Saya jadi ikut nimbrung dengan banyak alasan. Pertama, berniat ikut mendengarkan ayah dan ibu mengobrolkan Koes Plus laksana anak muda sekarang mengobrolkan Sm*sh dan Cherrybelle. Keren sekali ayah dan ibu bercerita sampai ke personel-personelnya. Maklum saya agak buta Koes Plus.

Kedua, saya jatuh cinta dengan The Beatles akibat nekat minta seluruh file albumnya dari seorang teman. Koes Plus banyak dibilang mengekor The Beatles. Saya berpikiran serupa dan langsung merasa bersalah beberapa menit yang lalu. Benar juga. Semua musisi di dunia ini pasti selalu ter-influence oleh musisi-musisi pendahulunya. Lagipula tidak sampai terjadi jiplak-jiplakan parah. Koes Plus hanya membuat musik seperti The Beatles tetapi dengan sentuhan yang lebih dapat diterima masyarakat Indonesia. Maka Rus Darmawan dalam buku "The Beatles or Koes Plus" membedakan dua band ini. The Beatles adalah 'kecerdasan dunia' karena menyajikan keragaman dramatika vokal dengan berbagai modulasi dan teknik komposisi. Sementara Koes Plus adalah 'kearifan Indonesia' karena mampu melumat rock 'n roll menjadi musik yang lebih bisa diterima oleh kearifan lokal bangsa Indonesia (resensi lengkap buku "The Beatles or Koes Plus" bisa dilihat di sini).

Waktu pun mengalir dengan hangat di ruang TV ketika lagu-lagu Koes Plus dibawakan oleh komunitas penggemarnya. Walau saya agak buta, saya masih bisa ikut tebak-tebakan lagu dengan ayah dan ibu, dan saya tidak payah-payah amat: Nusantara I, Kolam Susu, Kripik Tempe. Lumayanlah! :D

Jadi, yang tengah terjadi di ruang TV malam ini adalah pengenalan legenda dari orangtua kepada anaknya. Orangtua akan ngotot bahwa band favoritnya ini tak tertandingi oleh siapapun meski anaknya juga punya pandangan sendiri tentang band-band masa kini. Sebuah konflik antargenerasi yang menyehatkan.

Sekarang saya merenung, siapa saja yang bakal jadi legenda untuk saya ceritakan kepada anak-anak saya nanti. Semoga suami saya nanti juga punya cerita legendanya yang keren.

Apakah yang ini?


 

Atau pemuda-pemuda Liverpool ini?


 

Tapi, mereka juga perlu tahu band sukses asal tanah kelahiran ibunya:


 

Juga yang 'Roman Picisan'-nya menyayat-nyayat senar biola:


 

Dan yang menggigit:


 

Tak lupa, meski saya kurang setuju beliau mengecam The Beatles dan melarang laki-laki menggondrongkan rambut, saya tetap akan memperkenalkan ini:


 

Tapi juga rajinlah salat dan mengaji anakku :)

Originally posted on February 1st 2012

Ceritanya Latihan Problem Solving

Di pagi yang cerah tadi saya sudah melesat ke Jl. Krasak, Kotabaru. Saya hendak meliput acara softskill training yang diadakan oleh lembaga pengembangan karir dari UGM. Ini sungguh kegiatan liputan yang menyenangkan dan sungguh berbeda dengan ketika magang di radio manakala ikut matkul Jurnalisme Penyiaran atau 'ngguling-ngguling' di pers mahasiswa. Liputan kali ini saya tidak harus berpanas-panas dan lama menunggu. Saya hanya duduk di ruang training dan mencatat seluruh peristiwa training yang terjadi secara 5W1H. Lumayanlah, anggep aja peserta training juga ;)

Nah, mungkin sekalian saya share saja di sini ilmunya. Tapi sedikit saja mungkin ya, soalnya peserta yang ikut tadi harus bayar 70-90 ribu lho buat dapet ilmu ini. Olrait, tema trainingnya adalah problem solving. Intinya adalah, agar sukses memecahkan masalah, kita harus punya kemampuan berpikir analitis dan kreatif. Analitis buat mengidentifikasi masalah (alamak skripsiiii) dan kreatif buat mencari solusinya. Caranya adalah dengan menuliskan berbagai alternatif solusi atas masalah yang dihadapi, meski beberapa diantaranya gak logis, gak mutu, ra lucu, ra modal, gak penting, yang penting tulis saja semua, baru dieliminasi.

Dalam rangka brainstorming melatih kemampuan berpikir kreatif, trainer pun melontarkan pertanyaan "Apa yang akan Anda lakukan dengan selembar kertas?". Sayangnya saya hanya menjawab "Buat bikin pesawat-pesawatan dan buat nulis puisi." Padahal dulu saya pernah mendapat pertanyaan "Apa fungsinya penjepit kertas?" dan saya mengatakan sesuatu yang membuat semua orang tertawa: "Buat ngedorong koin yang sesak mau masuk kotak infak mesjid." Bahkan tidak cuma itu. Masih ada sederet kegunaan 'ra mutu' penjepit kertas lainnya yang saya tuliskan. Aih, kreativitas saya sedikit berkurang rupanya.

Selepas liputan, saya pun nongkrong ke perpustakaan dengan gaya khas anak wifi. Saya sudah berencana mengunduh The Beatles Anthology Disc 4 split 1 dari situs yahud indowebster.com sebesar sekitar 600 MB. Sayang kecepatan wifi Unit 1 Lantai 1 hanya seputaran 20 kbps, yaelah. Padahal Sabtu pagi lalu, kecepatannya mencapai lebih dari 1 mbps sodara-sodara *langsung ngiler donlot*. Saya jadi heran sama anak-anak cowok yang doyan donlot gede-gede dan kerap berhasil. Padahal wifian-nya juga gak di tempat aneh, misal di emper rumah dukun bandwidth. Tapi beberapa memang harus mencari kesempatan pada situasi yang sepi sih biar bisa ngebut mengunduh.

Dan...saya mengidentifikasikan ini sebagai masalah. Rumusan masalahnya adalah "Bagaimana mengunduh The Beatles Anthology tanpa lelet tanpa putus, di perpus, siang hari?". Solusinya adalah:

1. Teriak "Pergi semuanya! Tinggalkan saya wifian sendiri!" ---> '_______________'
2. Beli modem CDMA EVDO Rev.B yang konon mampu mencapai 14,7 mbps ---> duit gak ada, kelamaan, butuh donlot sekarang juga.
3. Mengancam petugas kontrol hotspot dengan clurit ---> gak punya clurit
4. Berdoa ---> tapi kalo tanpa usaha yaa gimana yaa
5. Beli DVD The Beatles Anthology dari Amazon ---> nunggu kurs 1 dollar = 1 rupiah sepertinya hanya mimpi

Hmm, tapi memang berpikir kreatif kalau tidak dieliminasi ya begitulah jadinya. Lima alternatif di atas terpikirkan setelah dengan bantuan Internet Download Manager pun kecepatan tidak meningkat juga. Ganti-ganti wifi pun nihil. Sementara di kompleks UGM sedang rawan bawa laptop malam-malam.

Dan akhirnya...saya terdampar di...Torrent! ---> aduuh saya gaptek sekali baru mudeng sekarang.
Saya sudah mengunduh aplikasi U-Torrent, mempelajarinya, dan mencoba meski hasilnya beluuuuum juga menggembirakan. Maybe next time. Mungkin saya harus wifian sabtu pagi lagi. Atau menunggu skripsi saya agak selo agar bisa tamasya ke tempat yang wifinya ngebut seperti di foodcourt dan PPTIK.

Tapi yang terpenting adalah: saya sudah berlatih problem solving, whatever they say


Originally posted on May 2nd 2012

Ternyata Cuma Mirip Si Itu

Wajah itu anugerah. Terlepas dari ayu ganteng atau tidak, kalau  kita punya wajah kita jadi pede dan mudah kenalan serta dikenali. Beberapa dianugerahi lebih. Tidak cuma mudah dikenali tapi juga mudah dikagumi dan merasuk ke mimpi banyak orang *loh. Yap, selama bertahun-tahun menjadi pengamat televisi (maksudnya nonton TV tiap hari), saya dan adik saya sering kecewa dengan bintang tenar kebanggaan yang ganteng atau ayunya tingkat khayangan tapi ternyata cuma mirip tetangga sebelah. Masih mending kalau mirip artis Indonesia. Tapi yang tetangga sebelah tidak usah dibahas di sini deh, nanti saya dilabrak. Oke kita mulai saja.

Tahu Keanu Reeves dong? Di umurnya yang sudah menginjak lebih dari 40 tahun dia masih ganteng minta dikeplak. Beberapa filmnya berhasil bikin orang berdecak kepedesan ck...ck..ck...slurrp. Uniknya doi ini memang ada campuran Lebanon, jadi gantengnya plus #opotoh.


Siapa sangka bintang Hollywood pujaan ini sebenarnya cuma mirip sama bintang sinetron Indonesia yang ini:


Yoi, mirip Atoy Herlambang. Di pernah main di beberapa sinetron Indonesia yang saya lupa judulnya (karena semacam lebih penting ngapalin judul buku buat skripsi). Terserah Anda mau bilang Atoy kurang mancung atau lebih mirip Anang Hermansyah dan memegang teguh pendapat bahwa Keanu Reeves paling ganteng satu alam semesta. Ini cuma kesepakatan saya dan adik. Saya juga pernah bertanya pada ibu saya waktu lagi nonton sinetronnya Atoy: "Bu, ini mirip banget ya sama bintang film yang kemarin?" "Yang mana?" "Yang busnya gak bisa direm itu lho." "Ho'oh mirip".

Kedua, penggemar film India pasti tahu yang satu ini. Kalau ngaku penggemar film India tapi gak pernah lihat wajah ini, pasti Anda salah mengira film Turki adalah film India. Bapak saya tiap nonton film India selalu tanya dulu "Film ini ada blablabla gak?". Yoiyoi, blablabla tak lain adalah Shahrukh Khan. Banyak juga yang bilang aktor ini ganteng. Yang bilang gak ganteng mau tidak mau harus mengakui opini publik. Kaum hawa menitikkan air mata kalau aktingnya mulai mellow (silogisme: saya kaum hawa tapi gak suka Shahrukh Khan jadi gak menitikkan air mata).


Ada lho artis Indonesia yang mirip Shahrukh Khan. Clue-nya: LOE-GUE-END LOE-GUE-END. Yihaaa, iyaa ituu, Shahrukh Khan ternyata wajahnya cuma kayak Rendy Samuel yang jadi bintang iklan provider seluler warna kuning. Rendy Samuel ini yang berperan jadi Oyon di serial Kepompong.


Mungkin Anda bilang Rendy Samuel terlalu unyu buat dimiripin sama Shahrukh Khan. Tapi entah kenapa saya yakin kalau tua, Rendy bakal mirip sama bintang Bollywood itu. Kita tunggu 30 tahun lagi ya

Masih ada lagi lho. Sekarang kita terbang ke negeri lain yang banyak orang gantengnya: Korea Selatan. Ini juga pasti pada tahu Lee Min Ho dong. Lesung pipinya minta digejog. Kalau senyum ngalahin cewek saking manisnya. Meski pakaian nabrak tetep aja keren gilak.


Siap-siap nangis para penggemar karena sebenarnya...tereeett... pria menawan di atas ternyata cuma mirip artis Indonesia di bawah ini:


Masa aktor Korea itu disamain sama mantannya Dewi Perssik? Maaf yaa, tapi memang mirip lho.

Maaf lagi kalau pembaca pingsan karena saya terlalu maksa.  Tapi ada pelajaran berharga di sini. Jangan pernah merasa paling ganteng atau paling ayu karena sebenarnya wajah Anda bisa jadi pasaran. Mungkin mitos bahwa manusia punya tujuh kembaran di bumi itu benar. Tapi juga jangan berharap ketinggian bahwa kembaran Anda adalah Lady Gaga.

Tapi ada satu yang saya belum terima. Adik saya bilang John Lennon dengan gaya ini mirip dr.Boyke katanya.



Mirip...enggak...mirip...enggak...mirip...ENGGAAAAAAKKKKKK!!!!

(adik teriak MIRIIIIP!!!)

Seharusnya Si Itu yang Jadi Si Ini

Kalau minggu lalu saya membahas tentang selebriti dunia yang ternyata hanya mirip selebriti Indonesia, hari ini saya punya bahasan lain yang intinya masih sama. Hollywood banyak mengadaptasi kartun ke dalam film dengan memilih aktor yang diserupakan karakternya dengan karakter kartunnya. Dalam beberapa film adaptasi kartun ini, saya kadang kurang sreg dengan aktornya yang tidak terlalu mirip, kocaknya beda, dan seterusnya.

Mungkin demi menghemat biaya casting, sekaligus biar filmnya laku, casting hanya dilakukan di seputaran industri Hollywood. Padahal di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ini, ada juga lho yang sebenarnya bisa memerankan tokoh kartun tersebut.

Ini versi asli Ace Ventura:

 

Dan ini Ace Ventura setelah diorangkan oleh Jim Carrey:


Seandainya Ace Ventura diproduseri oleh The Changcuters, sepertinya orang di bawah ini lebih kena cekingnya. Hebohnya juga gak kalah.

Nah, yang ini, versi asli Shaggy di film Scooby Doo:


Manusia Hollywood yang beruntung memerankan Shaggy adalah Matthew Lillard:


Tapi kalau melihat rambut 'njegrak' dan sedikit bulu janggut pada tokoh kartunnya, rasa-rasanya Thomas Nawilis lebih mirip:


Gak usah diambil hati lho. Ini hanya riset kecil-kecilan selama bertahun-tahun sebagai pemirsa film kecampur infotainment.


Originally posted on May 7th 2012

Simpati vs Empati

empati n kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain

simpati n 1. rasa kasih; rasa setuju kpd; rasa suka 2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dsb) orang lain

(Kamus Bahasa Indonesia - Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional)


Saya jadi ingat waktu berada di lab. radio kampus Fisipol UGM di Sekip bersama teman-teman. Kala itu kami tengah mempersiapkan naskah-naskah iklan gadungan buat sekadar tambah-tambah durasi siaran radio. Naskah-naskah gadungan itu kami siapkan sambil ngakak-ngikik karena toh ini cuma buat tugas kuliah Programa Siaran Radio. Hingga kemudian kami sadar bahwa kami lupa: suara kami yang 'waton bengak-bengok' di depan mikrofon itu ternyata tersiar sampai radius 2,5 km. Jadi kalau kebetulan tukang fotokopian di selatan kampus itu muter radio dan sampai pada frekuensi sekitar 107 FM, bocorlah kekonyolan kami di hadapan warga Sekip.

Salah satu iklan buatan kelompok yang paling saya ingat adalah iklan provider seluler bajakannya Simpati. Tentu saja kami tidak akan menggunakan brand tersebut. Pertama kami gak bakal untung, kedua malah kami bisa dituduh melakukan penghinaan dengan plesetan. Alhasil kami mengubahnya dengan nama 'Empati'. Provider seluler yang tak pernah ada.

Pengalaman itu kemudian menginspirasi saya untuk membuat tulisan ini. Tentang simpati dan empati. Kalau melihat definisi kamus di atas, sepertinya masih ada kerancuan. Saya sendiri jadi sulit membedakan simpati yang seperti apa dan empati itu harus bagaimana. Namun perbedaan yang paling jelas telah diterangkan oleh ilmu sosiologi. Singkatnya menurut saya, empati adalah kelanjutan dari simpati alias simpati level advance.

Gampangnya begini. Ada dua orang muda-mudi kehujanan malam hari dan berteduh di emperan toko.

Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget, dingin, brrr..."

Nah, dalam contoh kasus di atas, si muda berada pada level simpati. Kisah selanjutnya adalah si mudi mutusin si muda

Sekarang kita edit skenarionya:

Mudi: "Btw dingin ya."
Muda: "Bener banget" (sambil memberikan jaketnya pada si mudi).

Kalau yang begini, barulah disebut empati. Karena si muda benar-benar mampu memahami perasaan si mudi, apalagi ditambah aksi nyata. Pada kasus sebelumnya, si muda asal menyetujui pernyataan si mudi tanpa mencoba memahami lebih dalam perasaan si mudi yang membutuhkan kehangatan (cieeeiilaaahh). Memang benar kata Krishna Balagita bersama bandnya, "Karena Wanita Ingin Dimengerti".

Kemampuan memahami perasaan orang ini memang tidak semudah membalikkan daun kelor. Apalagi dunia tidak selebar telapak tangan. Wajah saja bisa menampilkan ribuan ekspresi. Pokoknya jalan satu-satunya untuk terampil hanyalah berlatih berlatih berlatih. Sering berbagi dan sering mendengarkan.

Meski kuping sudah ada dua dan tidak bisa dikendalikan seperti mata dan bibir yang bisa ditutup, ternyata tindakan mendengarkan tidak selalu bisa dilakukan setiap orang. Egoisme benar-benar harus disingkirkan. Sekarang saya akan mencontohkannya lagi. Egois kurang lebih adalah seperti ini:

"Duh saya lagi sibuk, bentar ya" (dan berlalu seperti badai...)

Bukan berarti orang yang ngomong seperti itu adalah egois 100%, terkadang beberapa diantaranya memang punya skala prioritas untuk mendahulukan kepentingannya. Letak egoisnya di sini adalah orang tersebut hanya menyatakan keadaannya dan segera berlalu. Segera berlalu mungkin akan menyakitkan bagi sebagian orang yang memang sungguh ada keperluan dengan si sibuk. Maka, seseorang yang telah mampu menepis egoisme kurang lebih akan berkata seperti ini:

"Saya ada janji hari ini. Bagaimana?"

Atau, dengan menawarkan solusi segera:

"Saya ada janji hari ini. Bagaimana kalau kita ketemu lagi besok?"

Setidaknya dua kalimat di atas mencoba memahami perasaan lawan bicara dengan menanyakan saran sekaligus solusi.

Mungkin berada dalam situasi yang tidak mengenakkan juga bisa menjadi sarana belajar. Saya sudah pernah menjadi wartawan. Mungkin kalau nanti saya jadi pejabat saya akan berkata seperti ini pada wartawan: "Saya hari ini ada janji. Deadline tulisannya kapan? Oh hari ini? Kalau gitu via telepon saja gak papa kok kalau gak sempat."

Dengan syarat wartawannya ngomong baik-baik. Aih tampak terlalu ramah dan baik hati



*) edisi curcol aroma sosiologi-psikologi

Buku Catatan yang Melegenda

Saya sendiri sih yang menobatkannya melegenda. Ya, buku catatan saya sendiri. Yeah, I am legend!

Jadi izinkan saya flashback pada masa sekolah dulu (seolah lama sekali saya sudah tidak sekolah). Saya adalah orang yang tidak bisa diam dalam artian positif. Dalam artian negatif tentu saja contohnya: ngegosip waktu guru menerangkan, bikin pesawat-pesawatan buat ngusilin anak cewek. Dalam artian positif, karena saya mencatat. Eits, jangan salah sangka bahwa mencatat adalah kegiatan anak cupu. Bahkan musisi pun mencatat daftar lagu dalam setlist.

Tentunya daripada 'ndomblong koyo sapi ompong' di kelas atau tidak produktif karena bikin perahu kertas, mencatat adalah jalan terbaik. Saya akan tetap bergerak sekaligus menghasilkan sesuatu yang sangat sangat berguna. Kebetulan saya memang suka sekali menulis. Tidak hanya menulis dalam arti mencurahkan pikiran, tapi juga menulis di atas kertas sekedar corat-coret. Itu mengasyikkan sekaligus bikin saya keren karena kelihatan sibuk. Bahkan kalau lebih selo lagi, saya bisa tiba-tiba mengetikkan kalimat tanpa asal-muasal pada layar ponsel. Bukan sekali dua kali saya tiba-tiba ngetik seperti ini di ponsel saat selo, misal: "Aku menghargai perasaanmu tapi maaf aku tak pernah bisa memaafkan caramu menduakanku sebelum memilikiku." Ya sudah, kalimat itu terketik begitu saja, bukan mau di-sms-kan, bukan mau disimpen di draft. Bukan curhat sama ponsel, bukan juga memindahkan diary ke dalam ponsel, ya pokoknya gatel nulis aja. Nah lo nah lo! (selo ternyata agak nyerempet edan).

Namun yang membuat saya bahagia adalah ketika catatan saya berguna buat orang lain. Terutama sejak saya SMP hingga sekarang. Teman-teman selalu menantikan catatan saya yang konon lengkap, rapi, indah, bleh-bleh-bleh sejuta kelebihan lainnya yang tidak saya mengerti hingga sekarang. Bahkan ketika SMA, sampai ada satu orang teman yang jadi koordinator fotokopian catatan saya untuk melayani kebutuhan teman sekelas. Saya kala itu ikhlas-ikhlas saja tanpa pamrih, cieeiilah. Tapi saat kuliah, naluri bisnis saya mulai bergaung hingga merasa butuh manajer untuk mengelola catatan-catatan saya secara komersial. Tapi saya tidak tega, wekekeke.

Beberapa kejadian dan testimoni mengenai catatan saya kadang masih membekas saking mengharukannya. Pernah suatu kali catatan saya tertinggal di ruang kelas. Karena SMA saya menggunakan sistem kelas bergerak atau moving class, saya berniat mengambilnya nanti saja ketika jam istirahat karena ruang kelasnya pasti sudah dipakai kelas lain. Alhasil karena malas, saya baru mengambilnya esok hari. Dan betapa terkejutnya saya, di halaman belakang, satu halaman penuh telah tertulis puisi. Panjang banget dah puisinya. Intinya si penulis puisi jatuh cinta sama saya karena kagum dengan indahnya tulisan saya. Dia sangat yakin saya secantik tulisan saya #omigod #semaput. Tak lupa dia menyertakan nomor ponsel (sepertinya sih nomor ponsel), menggunakan angka arab. Benar-benar angka dari Arab yang biasa teman-teman lihat dalam kitab Al Quran. Nomor tersebut tak pernah saya hubungi. Dan sampai sekarang saya tidak tahu dia siapa, jenis kelaminnya apa, yang jelas dia anak SMA saya.

Seorang teman juga pernah dengan getolnya meminjam seluruh catatan saya, seluruh mata pelajaran. Dan dia cuma berkata begini, "aku gak bisa belajar kalau bukan pakai catatan kamu." Aih aih aih. Dia berhasil lepas dari adiksi catatan saya setelah akan lulus dan kini ia kuliah di Jurusan Sastra Jepang dengan sukses.

Kemudian, ketika kuliah, saya mengucapkan selamat ulang tahun via Facebook pada teman SMA juga yang kala itu sedang kuliah di Cina. Betapa kagetnya saya ketika teman saya itu membalas ucapan saya puanjang sekali. Dengan mengenaskan dia menyatakan kesedihannya karena di Cina ia tidak punya teman seperti saya yang catatannya super lengkap. Huahahahaha, saya tertawa sambil menangis. Bukan terharu sih kalau yang ini, cuma terlalu terbahak-bahak.

Sementara saat kuliah, masih ada namun tak banyak lagi yang membutuhkan catatan. Karena memang catatan tidak lagi utama. Sambil menyelam di perpus minum referensi adalah yang terpenting. Maka, tinta bisa sangat awet pada masa kuliah.

Dan malam ini, saya kembali harus berharu lagi. Teman SMA saya (lagi) tiba-tiba menyatakan akan berkunjung. Dia hendak mengembalikan buku biologi yang ia pinjam sejak SMA dan lupa mengembalikan. Sejujurnya saya lupa buku itu pernah dipinjam, saya lupa buku yang mana, dan saya tak peduli. Saya gak akan masalah kalau buku itu tidak dikembalikan, tapi berhubung kangen dengan teman saya ini, saya terima dia dengan sukacita. Kami pun heboh mengobrol lama. Ternyata dia dulu meminjam dua buku, buku teks dan buku catatan biologi saya. Menjelang pamitan teman saya berkata, "makasih lho rif, buku kamu ini juga mengantarkan aku jadi dokter" sambil menepuk keras-keras pundak saya. Glek!

*) Buat Paramastri Ardhanareswari yang gak bisa belajar tanpa catatanku, katanya. Buat Ihsan Muttaqin yang kehilangan teman penuh catatan seperti saya di Cina, katanya. Buat Savina Hasbiani, yang jadi dokter karena catatanku, hahaha astagfirullah, katanyaaa. Dan buat someone yang menulis puisi di halaman belakang catatanku, sopo to kowe?!

Hati-hati Banyak Ayam-ayam!

Perhatian:
Ini ayam dalam artian sebenarnya. Binatang ovipar berkaki dua. Bukan ayam yang sudah rasa bawang atau yang berkeliaran di kampus.

Sebelumnya saya mau bercerita tentang kejadian yang saya alami kemarin. Pagi kemarin saya berniat hendak ke perpustakaan, numpang donlot sebentar sebelum bekerja. Tepat di sebelah barat Grha Sabha Pramana, saya mengendarai sepeda motor menuju perpustakaan dengan posisi gigi tiga. Kecepatan sedang pastinya. Sekitar dua meter di depan saya, ada sepeda motor juga. Dengan kecepatan yang setara, dan yang duduk di atas sepeda motor tampaknya punya ikatan pacaran. Tampak dari kecepatan sepeda motor yang sedang dan sambil mengobrol #soktau. Saya pun bermaksud mendahului. Tanpa tanda dan isyarat apalagi surat undangan, mendadak masnya belok kanan dan terjadilah tubrukan yang konyol tapi patut disyukuri. Patut disyukuri karena baik saya maupun masnya tidak ada yang jatuh menggelepar. Kalau cowok sih biasa ya jaga keseimbangan kendaraan dalam keadaan genting. Tapi saya agak luar biasa juga pagi itu, sehingga meski sempoyongan saya tetap 'cool' tanpa terjatuh.

Dalam hal ini sebenarnya jelaslah masnya yang bersalah. Boleh tanya Pak Satpam GSP yang berkumis sebagai saksi. Pertama dia belok tanpa lampu sein, tanpa lambaian tangan, dan tanpa tengok ke belakang. Entah apakah mesin sepeda motor saya terlalu halus suaranya sampai gak nyadar. Kedua, setahu saya tidak boleh ada kendaraan melaju dari barat ke timur melewati lobby bawah GSP. Maka saya pun tidak berpikir masnya akan belok kanan tapi ternyata takdir berkata lain.

Hmm, ya sudah. Karena kejadian itu, saya jadi ingat ayam. Bukan bermaksud menyamakan ayam dengan masnya sih. Hanya saja, kejadian serupa bisa terjadi bila Anda tidak memahami jalan pikiran ayam. Ketahuilah bahwa menurut riset kecil-kecilan saya, pemikiran ayam itu kebalik sodara-sodara. Sekarang silakan diamati, hanya segelintir ayam pintar saja yang minggir ke arah yang benar ketika kita melintas dengan kendaraan. Sebagian besar ayam justru menjemput bahaya ketika kita melintas. Misalnya di sebuah gang, kita berkendara di tengah gang tersebut. Ada ayam di sisi kanan gang. Mengetahui kita melintas, umumnya ayam mendadak panik dan justru karena panik itu si ayam malah menyeberang ke tepi kiri gang. Kalau rem Anda gak yahud, siap-siap ucapkan innalillahi. Padahal kalau si ayam bisa memanage kepanikan, dia cukup berjalan cool saja di sisi kanan gang. Ngapain nyebrang? (analisis ngawur).

Kisah tersebut saya ambil dari kejadian nyata yang saya alami sendiri. Saya betul-betul melindas ayam yang mendadak nyebrang. Tapi untungnya saya ngelindes ayam ajaib. Pasca dilindas, doi bangun lagi meski pincang-pincang.

Yah, ini sekilas info saja buat teman-teman yang kebetulan sering bertemu sekumpulan ayam di jalan. Apalagi kalau itu adalah anak-anak ayam bersama induknya. Kejadiannya bisa lebih rumit karena induk ayam pasti marah dan menghalalkan segala cara untuk melukai Anda. Yaa, walopun paling banter kejepit paruhnya aja sih.

Sebenarnya yang juga tak kalah bahaya adalah jalanan dengan tulisan "Hati-hati Banyak Anak-anak!" Mau sebener apapun argumen Anda, kalau Anda terlibat kecelakaan dengan anak-anak, siap-siap untuk selalu jadi yang bersalah ;)


Originally posted on May 11th 2012