Saya sendiri sih yang menobatkannya melegenda. Ya, buku catatan saya sendiri. Yeah, I am legend!
Jadi izinkan saya flashback
pada masa sekolah dulu (seolah lama sekali saya sudah tidak sekolah).
Saya adalah orang yang tidak bisa diam dalam artian positif. Dalam
artian negatif tentu saja contohnya: ngegosip waktu guru menerangkan,
bikin pesawat-pesawatan buat ngusilin anak cewek. Dalam artian positif,
karena saya mencatat. Eits, jangan salah sangka bahwa mencatat adalah
kegiatan anak cupu. Bahkan musisi pun mencatat daftar lagu dalam setlist.
Tentunya
daripada 'ndomblong koyo sapi ompong' di kelas atau tidak produktif
karena bikin perahu kertas, mencatat adalah jalan terbaik. Saya akan
tetap bergerak sekaligus menghasilkan sesuatu yang sangat sangat
berguna. Kebetulan saya memang suka sekali menulis. Tidak hanya menulis
dalam arti mencurahkan pikiran, tapi juga menulis di atas kertas sekedar
corat-coret. Itu mengasyikkan sekaligus bikin saya keren karena
kelihatan sibuk. Bahkan kalau lebih selo lagi, saya bisa tiba-tiba
mengetikkan kalimat tanpa asal-muasal pada layar ponsel. Bukan sekali
dua kali saya tiba-tiba ngetik seperti ini di ponsel saat selo, misal:
"Aku menghargai perasaanmu tapi maaf aku tak pernah bisa memaafkan
caramu menduakanku sebelum memilikiku." Ya sudah, kalimat itu terketik
begitu saja, bukan mau di-sms-kan, bukan mau disimpen di draft. Bukan
curhat sama ponsel, bukan juga memindahkan diary ke dalam ponsel, ya
pokoknya gatel nulis aja. Nah lo nah lo! (selo ternyata agak nyerempet
edan).
Namun yang membuat saya bahagia adalah ketika catatan saya
berguna buat orang lain. Terutama sejak saya SMP hingga sekarang.
Teman-teman selalu menantikan catatan saya yang konon lengkap, rapi,
indah, bleh-bleh-bleh sejuta kelebihan lainnya yang tidak saya mengerti
hingga sekarang. Bahkan ketika SMA, sampai ada satu orang teman yang
jadi koordinator fotokopian catatan saya untuk melayani kebutuhan teman
sekelas. Saya kala itu ikhlas-ikhlas saja tanpa pamrih, cieeiilah. Tapi
saat kuliah, naluri bisnis saya mulai bergaung hingga merasa butuh
manajer untuk mengelola catatan-catatan saya secara komersial. Tapi saya
tidak tega, wekekeke.
Beberapa kejadian dan testimoni mengenai
catatan saya kadang masih membekas saking mengharukannya. Pernah suatu
kali catatan saya tertinggal di ruang kelas. Karena SMA saya menggunakan
sistem kelas bergerak atau moving class,
saya berniat mengambilnya nanti saja ketika jam istirahat karena ruang
kelasnya pasti sudah dipakai kelas lain. Alhasil karena malas, saya baru
mengambilnya esok hari. Dan betapa terkejutnya saya, di halaman
belakang, satu halaman penuh telah tertulis puisi. Panjang banget dah
puisinya. Intinya si penulis puisi jatuh cinta sama saya karena kagum
dengan indahnya tulisan saya. Dia sangat yakin saya secantik tulisan
saya #omigod #semaput. Tak lupa dia menyertakan nomor ponsel (sepertinya
sih nomor ponsel), menggunakan angka arab. Benar-benar angka dari Arab
yang biasa teman-teman lihat dalam kitab Al Quran. Nomor tersebut tak
pernah saya hubungi. Dan sampai sekarang saya tidak tahu dia siapa,
jenis kelaminnya apa, yang jelas dia anak SMA saya.
Seorang teman
juga pernah dengan getolnya meminjam seluruh catatan saya, seluruh mata
pelajaran. Dan dia cuma berkata begini, "aku gak bisa belajar kalau
bukan pakai catatan kamu." Aih aih aih. Dia berhasil lepas dari adiksi
catatan saya setelah akan lulus dan kini ia kuliah di Jurusan Sastra
Jepang dengan sukses.
Kemudian, ketika kuliah, saya mengucapkan
selamat ulang tahun via Facebook pada teman SMA juga yang kala itu
sedang kuliah di Cina. Betapa kagetnya saya ketika teman saya itu
membalas ucapan saya puanjang sekali. Dengan mengenaskan dia menyatakan
kesedihannya karena di Cina ia tidak punya teman seperti saya yang
catatannya super lengkap. Huahahahaha, saya tertawa sambil menangis.
Bukan terharu sih kalau yang ini, cuma terlalu terbahak-bahak.
Sementara
saat kuliah, masih ada namun tak banyak lagi yang membutuhkan catatan.
Karena memang catatan tidak lagi utama. Sambil menyelam di perpus minum
referensi adalah yang terpenting. Maka, tinta bisa sangat awet pada masa
kuliah.
Dan malam ini, saya kembali harus berharu lagi. Teman
SMA saya (lagi) tiba-tiba menyatakan akan berkunjung. Dia hendak
mengembalikan buku biologi yang ia pinjam sejak SMA dan lupa
mengembalikan. Sejujurnya saya lupa buku itu pernah dipinjam, saya lupa
buku yang mana, dan saya tak peduli. Saya gak akan masalah kalau buku
itu tidak dikembalikan, tapi berhubung kangen dengan teman saya ini,
saya terima dia dengan sukacita. Kami pun heboh mengobrol lama. Ternyata
dia dulu meminjam dua buku, buku teks dan buku catatan biologi saya.
Menjelang pamitan teman saya berkata, "makasih lho rif, buku kamu ini
juga mengantarkan aku jadi dokter" sambil menepuk keras-keras pundak
saya. Glek!
*) Buat Paramastri Ardhanareswari yang gak bisa
belajar tanpa catatanku, katanya. Buat Ihsan Muttaqin yang kehilangan
teman penuh catatan seperti saya di Cina, katanya. Buat Savina Hasbiani,
yang jadi dokter karena catatanku, hahaha astagfirullah, katanyaaa. Dan
buat someone yang menulis puisi di halaman belakang catatanku, sopo to kowe?!
No comments:
Post a Comment