Wednesday 21 November 2012

Buku Catatan yang Melegenda

Saya sendiri sih yang menobatkannya melegenda. Ya, buku catatan saya sendiri. Yeah, I am legend!

Jadi izinkan saya flashback pada masa sekolah dulu (seolah lama sekali saya sudah tidak sekolah). Saya adalah orang yang tidak bisa diam dalam artian positif. Dalam artian negatif tentu saja contohnya: ngegosip waktu guru menerangkan, bikin pesawat-pesawatan buat ngusilin anak cewek. Dalam artian positif, karena saya mencatat. Eits, jangan salah sangka bahwa mencatat adalah kegiatan anak cupu. Bahkan musisi pun mencatat daftar lagu dalam setlist.

Tentunya daripada 'ndomblong koyo sapi ompong' di kelas atau tidak produktif karena bikin perahu kertas, mencatat adalah jalan terbaik. Saya akan tetap bergerak sekaligus menghasilkan sesuatu yang sangat sangat berguna. Kebetulan saya memang suka sekali menulis. Tidak hanya menulis dalam arti mencurahkan pikiran, tapi juga menulis di atas kertas sekedar corat-coret. Itu mengasyikkan sekaligus bikin saya keren karena kelihatan sibuk. Bahkan kalau lebih selo lagi, saya bisa tiba-tiba mengetikkan kalimat tanpa asal-muasal pada layar ponsel. Bukan sekali dua kali saya tiba-tiba ngetik seperti ini di ponsel saat selo, misal: "Aku menghargai perasaanmu tapi maaf aku tak pernah bisa memaafkan caramu menduakanku sebelum memilikiku." Ya sudah, kalimat itu terketik begitu saja, bukan mau di-sms-kan, bukan mau disimpen di draft. Bukan curhat sama ponsel, bukan juga memindahkan diary ke dalam ponsel, ya pokoknya gatel nulis aja. Nah lo nah lo! (selo ternyata agak nyerempet edan).

Namun yang membuat saya bahagia adalah ketika catatan saya berguna buat orang lain. Terutama sejak saya SMP hingga sekarang. Teman-teman selalu menantikan catatan saya yang konon lengkap, rapi, indah, bleh-bleh-bleh sejuta kelebihan lainnya yang tidak saya mengerti hingga sekarang. Bahkan ketika SMA, sampai ada satu orang teman yang jadi koordinator fotokopian catatan saya untuk melayani kebutuhan teman sekelas. Saya kala itu ikhlas-ikhlas saja tanpa pamrih, cieeiilah. Tapi saat kuliah, naluri bisnis saya mulai bergaung hingga merasa butuh manajer untuk mengelola catatan-catatan saya secara komersial. Tapi saya tidak tega, wekekeke.

Beberapa kejadian dan testimoni mengenai catatan saya kadang masih membekas saking mengharukannya. Pernah suatu kali catatan saya tertinggal di ruang kelas. Karena SMA saya menggunakan sistem kelas bergerak atau moving class, saya berniat mengambilnya nanti saja ketika jam istirahat karena ruang kelasnya pasti sudah dipakai kelas lain. Alhasil karena malas, saya baru mengambilnya esok hari. Dan betapa terkejutnya saya, di halaman belakang, satu halaman penuh telah tertulis puisi. Panjang banget dah puisinya. Intinya si penulis puisi jatuh cinta sama saya karena kagum dengan indahnya tulisan saya. Dia sangat yakin saya secantik tulisan saya #omigod #semaput. Tak lupa dia menyertakan nomor ponsel (sepertinya sih nomor ponsel), menggunakan angka arab. Benar-benar angka dari Arab yang biasa teman-teman lihat dalam kitab Al Quran. Nomor tersebut tak pernah saya hubungi. Dan sampai sekarang saya tidak tahu dia siapa, jenis kelaminnya apa, yang jelas dia anak SMA saya.

Seorang teman juga pernah dengan getolnya meminjam seluruh catatan saya, seluruh mata pelajaran. Dan dia cuma berkata begini, "aku gak bisa belajar kalau bukan pakai catatan kamu." Aih aih aih. Dia berhasil lepas dari adiksi catatan saya setelah akan lulus dan kini ia kuliah di Jurusan Sastra Jepang dengan sukses.

Kemudian, ketika kuliah, saya mengucapkan selamat ulang tahun via Facebook pada teman SMA juga yang kala itu sedang kuliah di Cina. Betapa kagetnya saya ketika teman saya itu membalas ucapan saya puanjang sekali. Dengan mengenaskan dia menyatakan kesedihannya karena di Cina ia tidak punya teman seperti saya yang catatannya super lengkap. Huahahahaha, saya tertawa sambil menangis. Bukan terharu sih kalau yang ini, cuma terlalu terbahak-bahak.

Sementara saat kuliah, masih ada namun tak banyak lagi yang membutuhkan catatan. Karena memang catatan tidak lagi utama. Sambil menyelam di perpus minum referensi adalah yang terpenting. Maka, tinta bisa sangat awet pada masa kuliah.

Dan malam ini, saya kembali harus berharu lagi. Teman SMA saya (lagi) tiba-tiba menyatakan akan berkunjung. Dia hendak mengembalikan buku biologi yang ia pinjam sejak SMA dan lupa mengembalikan. Sejujurnya saya lupa buku itu pernah dipinjam, saya lupa buku yang mana, dan saya tak peduli. Saya gak akan masalah kalau buku itu tidak dikembalikan, tapi berhubung kangen dengan teman saya ini, saya terima dia dengan sukacita. Kami pun heboh mengobrol lama. Ternyata dia dulu meminjam dua buku, buku teks dan buku catatan biologi saya. Menjelang pamitan teman saya berkata, "makasih lho rif, buku kamu ini juga mengantarkan aku jadi dokter" sambil menepuk keras-keras pundak saya. Glek!

*) Buat Paramastri Ardhanareswari yang gak bisa belajar tanpa catatanku, katanya. Buat Ihsan Muttaqin yang kehilangan teman penuh catatan seperti saya di Cina, katanya. Buat Savina Hasbiani, yang jadi dokter karena catatanku, hahaha astagfirullah, katanyaaa. Dan buat someone yang menulis puisi di halaman belakang catatanku, sopo to kowe?!

No comments:

Post a Comment