Wednesday 21 November 2012

Ayo Para Kanca Nganggo Basa Jawa

Kebetulan saya orang Jawa asli tanpa campuran apapun. Sejak lahir pun tinggal di tanah Jawa dan menggunakan bahasa tanah tersebut dalam lingkungan rumah dan keluarga. Di jenjang pendidikan, sekolah dasar adalah satu-satunya sekolah dengan penggunaan bahasa Jawa terbanyak. Mungkin karena saat itu teman-teman juga bukan orang-orang jauh, hanya tetangga sendiri dan paling banter dusun-dusun sekeliling. Hanya satu dua orang pindahan dari kota lain yang tidak mengerti bahasa Jawa.

Makin gede, makin tinggi sekolahnya, malah penggunaan bahasa Jawa makin berkurang di luar rumah. Apalagi kuliah, di mana kampus adalah Indonesia mini. Rasanya jadi kangen dan semarak kalau waktu kuliah masih menggunakan bahasa Jawa full. Istilahnya jawanya lebih 'gayeng'. Bahasa Jawa itu sebenarnya asik meski saya akui itu termasuk sulit ketika jadi mata pelajaran di sekolah. Saya belum menemukan bahasa lain yang sekompleks bahasa Jawa. Tadinya saya kira bahasa Jerman itu rempong karena memperlakukan benda-benda sebagai laki-laki dan perempuan dengan perlakuan berbeda dalam kalimat. Ternyata bahasa Jawa jauuuuh lebih rempong tapi sekaligus unik dan eksotik.

1. Tingkatan penggunaan

Bahasa Jawa punya tiga tingkat penggunaan yang berbeda untuk tiap-tiap golongan yang menjadi lawan bicara. Ada jawa ngoko, ngoko alus/krama madya,  dan krama alus/krama inggil. Ngoko digunakan untuk bicara dengan teman sebaya dan sifatnya informal. Umumnya bahasa ini dianggap kasar. Krama madya salah satunya  digunakan untuk orang yang baru dikenal, misal tanya orang di jalan waktu kesasar. Sedangkan krama inggil digunakan untuk orang-orang yang dihormati misal orangtua. Tapi fleksibel saja sih sebenarnya. Saya sendiri menggunakan perpaduan ngoko dan ngoko alus untuk bicara dengan orangtua. Sementara krama inggil hampir tidak pernah saya gunakan. Bahasanya sungguh tidak mainstream di masyarakat. Sama Pak Sri Sultan saja sepertinya saya gak sampai pake bahasa krama inggil. Padahal tentunya bahasa internal keraton berbeda lagi dengan bahasa rakyat jelata di atas, lebih halus lagi dan sakral. Dan masih ada satu lagi, bahasa Jawa kuno atau Jawa Kawi yang ditemukan dalam literatur-literatur kuno. Yang ini saya angkat tangan deh.
Ini contoh tingkatan penggunaan kalimat "Mau pergi ke mana?"

Teman sebaya: "Arep lunga menyang endi?"
Orangtua: "Badhe tindak pundi?"

2. Punya aksara sendiriBahasa Jawa memiliki aksara sendiri yang disebut Aksara Jawa. Ia tidak berbentuk alfabet spesifik per fonem seperti A-B-C dan seterusnya tetapi per suku kata. Kalau disebut seluruhnya adalah:

ha-na-ca-ra-ka
da-ta-sa-wa-la
pa-dha-ja-ya-nya
ma-ga-ba-tha-nga

Kayak gini nih bentuknya:


Nah, biar bunyi vokalnya beda, biar hurufnya bisa mati, dan biar bisa menuliskan variasi lainnya, digunakanlah sandhangan. Misalnya huruf 'ha', supaya bisa bunyi 'hi' harus diberi sandhangan yang punya fungsi berbunyi 'i'. Sandhangan-nya akan berbeda lagi untuk bunyi vokal lainnya. Lumayan rumit juga, tapi nagih buat dipelajari. Aksara jawa ini juga ada yang kuno dengan sebutan aksara murda dengan fungsi yang berbeda lagi.

Tahu legenda Ajisaka kan? Katanya sih doi yang bikin aksara di atas. Tapi ketemu Ajisaka kan susah kalau mau belajar. Daripada harus bakar kemenyan, bahan belajarnya banyak kok. Kalau males beli buku, kita juga bisa belajar dari plang-plang jalan di Jogja, pasti ada aksara Jawa di bawahnya.

3. Punya banyak nama

Maksudnya adalah bahasa Jawa punya banyak nama untuk tiap objek di muka bumi. Berkat bahasa Jawa, dijamin kata benda bisa masuk tesaurus alias daftar sinonim. Salah satunya adalah dasanama, yakni sepuluh sinonim dari suatu kata. Api, air, angin, tanah, masing-masing punya sinonim yang apik dan bisa ditemukan dalam nama orang. Api punya nama lain agni. Air punya nama lain tirta. Tanah punya nama lain siti. Angin punya nama lain bayu. Masih banyak lagi nama-nama lainnya.

Tak hanya itu ... (haduuuh, wong jawa selo tenan!)

Bahkan anak hewan, daun tumbuhan, bunga, biji buah, pohon buah juga punya nama. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebut anak ayam cuma dengan sebutan 'anak ayam'. Bahasa jawa menyebutnya 'kuthuk'. Tak hanya ayam, tapi juga puluhan hewan lain: sapi, buaya, cicak, bebek, macan, dst. Bunga kelapa namanya 'manggar'. Daun kelapa yang tua namanya 'blarak', yang muda namanya 'janur'. Pohon kelapa namanya 'glugu'. Biji salak namanya 'kenthos', biji durian namanya 'pongge'.

4. Ekspresif

Bahasa Jawa juga mencerminkan orang Jawa yang ekspresif dalam mengungkapkan sesuatu. Makanya, kalau nonton lawak berbahasa Jawa niscaya kita akan tetap ketawa meski tidak paham bahasa Jawa. Hebatnya lagi, ekspresi ini sulit dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, apalagi bahasa India. Misalnya adalah penggunaan kata 'mak' untuk menekankan perbuatan atau kejadian:

benda jatuh --> mak gedebuk
menelan makanan --> mak legender

Untuk menjelaskan sesuatu yang berantakan saja ada banyak alternatif: morat-marit, mobrak-mabrik, mosak-masik, bekakrakan, pating jlegedhag, dst.

5. Pengucapan

Bahasa Jawa juga punya pronunciation sendiri yang tak boleh diremehkan kalau tidak mau dibilang 'wagu' (cari sendiri artinya, haha). Biasanya orang yang tidak berbahasa Jawa mengalami kesulitan membedakan bunyi 'd' dan 'dh' yang lebih tebal. Padahal itu adalah kunci utama medhoknya orang Jawa ketika bicara. Bunyi 't' dan 'th' pun harus dilatih biar lebih njawani lagi.

Untuk mempelajari hal-hal di atas secara ringkas, ada satu buku ampuh dan sakti (ujung-ujungnya promosi). Ini adalah buku kitab pelajar yang stres ngadepin pelajaran bahasa Jawa. Judul bukunya polos dan bersahaja sekali. Artinya adalah 'bahasa jawa lengkap'. Seperti ini bentuknya, ini terbitan terbaru yang lebih ciamik dan asik, gak kayak jaman saya dulu:



No comments:

Post a Comment