Thursday 8 May 2014

Children Book Editing: Understanding Children's Mind

Judul di atas seperti judul referensi skripsi ya? Padahal sudah setahun lebih waktu berlalu, aroma bibliografi masih saja belum lepas.

Hampir setahun pula saya tak menyentuh galeri tulisan pribadi saya ini. Alasan klise tentu saja, kesibukan bekerja. Bahkan meski kegiatan blogging sudah saya susun dalam jadwal harian, tetap saja saya-nya yang enggan mematuhi jadwal sendiri. Maunya setelah pulang kantor adalah mendengarkan musik atau nonton film. Pokoknya kegiatan-kegiatan yang effortless begitulah. Baca koran yang sudah dilanggan pun kadang malas dan akhirnya merasa bersalah karena sudah membayar biaya langganan. 

Jadi mumpung sekarang selo, saya 'paksa' diri untuk posting. Bloggers must post, don't we? Tapi saya juga belum bisa disebut blogger sih, cuma iseng nulis aja. 

Ah, sepertinya sudah kepanjangan cuap-cuap intronya. Sekarang saatnya saya bercerita. Ini cerita tentang kegiatan saya dulu sebagai freelance. Semenjak kuliah tingkat akhir, saya sudah kerja serabutan menulis dan menyunting. Salah satu pekerjaan paling mengesankan adalah menyunting buku. 

Ya, menyunting buku. Sounds boring? Tunggu dulu. Ada pekerjaan menarik sebagai tester games, tester hotel, tester cokelat, dan sejenisnya. Kerjaannya adalah main game, keliling hotel, dan makan cokelat. Menyenangkan bukan?

Pekerjaan menyunting sebenarnya juga hampir sama dengan tester. Bayangkan saja, Anda dibayar untuk membaca buku (ya sama ngedit juga sih). Editor adalah seorang book tester yang memastikan sebuah buku layak jual dan layak baca. Istimewanya lagi, Anda adalah orang yang pertama kali membaca sebelum sebuah buku nangkring di rak toko buku. Anda boleh sombong ketika si penulis sebenarnya awut-awutan tulisannya dan Andalah yang membenahi. 

Kembali ke topik, singkat cerita, saya membaca lowongan proofreader (pemeriksa aksara) di salah satu penerbit buku ternama yang berlokasi di DIY. Saya segera menghubungi kakak angkatan saya, Mbak Susanti Nurul Amri, yang saat itu bekerja sebagai editor fiksi anak di penerbit tersebut. 

Pucuk dicinta, saya malah ditawari jadi outsource editor alias editor alih daya yang bekerja secara freelance. Sudah menyenangkan, tak ada jam kantor pula. 

Akan tetapi, saya juga masih kurang percaya diri kala itu. Saya sama sekali belum pernah punya pengalaman menyunting buku, termasuk buku fiksi anak. Saya hanyalah anak kuliahan yang merangkap anak pers mahasiswa, yang sesekali baca buku. 

Akhirnya, dengan bekal diskusi dan pembekalan penyuntingan singkat oleh Mbak Susan, saya coba 'nekat' menyunting buku. Mbak Susan hanya bilang, kalau kerjaan saya bagus, order akan datang lagi. Dan ternyata saya selalu kedatangan order setiap bulannya dan bolehlah diartikan kerjaan saya tidak buruk-buruk amat.

Selama rentang waktu hampir 1,5 tahun menyunting buku fiksi anak, ada banyak hal yang saya pelajari. Selagi luang, saya akan ceritakan semuanya di sini. Jika suatu hari Anda ingin menggeluti profesi tester a.k.a editor buku fiksi anak, setidaknya hal-hal di bawah ini bisa dijadikan pertimbangan dan pembelajaran:

1. Masuki dunia mereka
Sebagai editor buku anak, tentulah kita harus memahami dunia anak. Nantinya, pembaca buku yang kita sunting adalah anak-anak. Jadi, kita harus menempatkan diri pada posisi mereka. Caranya? Banyak yang bisa kita lakukan, mulai dari banyak membaca buku anak-anak, sering bermain dengan anak-anak, serta perhatikan apa yang mereka lakukan dan imajinasikan. Kalau sudah begitu, kita akan tahu, mana yang akan menarik dibaca oleh anak, dan mana yang tidak pantas tersaji untuk mereka.

Terkadang, ketika buku anak yang kita sunting adalah buku yang memang ditulis oleh penulis cilik, kita harus pandai-pandai memasuki imajinasi si penulis. Ketika kita telah mengerti apa yang mereka bayangkan, kita tak lagi kesulitan menyelaraskan alur cerita mereka.
  
2. Peka, peka, dan peka
Senada dengan memasuki dunia anak dan memahami mereka, kepekaan tak kalah penting. Saya pernah melakukan beberapa kesalahan karena ketidakpekaan ketika menyunting buku anak. Pertama, saya membiarkan saja bagian cerita mengenai tokoh dalam Cinderella yang menumbuk gelas kaca milik ibu tiri Cinderella untuk digunakan sebagai penghias sepatu kaca. Saya memandang ini sebagai bentuk kreativitas. Namun ternyata, teman editor saya memandangnya lain. Menumbuk gelas kaca adalah hal berbahaya yang dikhawatirkan akan ditiru oleh pembaca anak-anak. Selain itu, menumbuk gelas ibu tiri tanpa izin tentunya bukan perbuatan yang baik meski kita semua tahu si ibu tiri memang jahat.

Kedua, saya pernah--entah kenapa--merasa 'gusar' dengan bagian garing dalam cerita yang dibuat oleh penulis anak-anak. Si penulis ini berhaha-hihi ria di sembarang tempat dan saya merasa itu agak mengganggu. Sudah begitu memang tidak lucu. Dengan percaya diri, saya menghapus bagian haha-hihi itu supaya cerita mengalir lebih jelas. Ternyata, hal seperti ini sebaiknya dipertimbangkan baik-baik. Ya, karena selera humor kita dan anak-anak tentu berbeda. Bisa jadi menurut kita garing, ternyata di luar sana anak-anak ngakak guling-guling sambil bawa buku yang kita sunting.

3. Sabar alih-alih bubar
Nah, kesabaran bisa jadi adalah bekal paling utama bagi editor selain ketelitian. Menurut saya, ini berlaku untuk semua jenis editor buku, apalagi editor buku anak. Namanya juga anak-anak, tentu yang lebih banyak kita lihat adalah keluguan alih-alih cerita yang fantastis dari hasil karya mereka. Mereka mungkin mudah bosan dan tidak sabaran. Alhasil, alur cerita yang mereka tulis berlalu begitu cepat dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Maunya langsung ending saja.

Saya juga pernah menyunting cerita bikinan anak yang seperti itu. Ada penjahat beraksi, keadaan kacau-balau, tahu-tahu si penjahat sudah menyerahkan diri ke polisi. Sebagai orang dewasa yang (berlagak) sudah sering nonton film (hahaha), tentu kita menganggap cerita ini sama sekali tidak menarik dan garing sekali. Namun sekali lagi, kita harus memberikan ruang untuk keluguan dan imajinasi mereka. Pada saat itu, saya diminta untuk menambahkan sedikit sisipan cerita tambahan agar masing-masing peristiwa berjalan secara berkesinambungan. Lagi-lagi di sinilah pentingnya kita memahami dunia mereka untuk bisa 'merapikan' imajinasi mereka.

4. Banyak bergaul dengan anak-anak
Bergaul dengan anak-anak tentu juga salah satu cara paling mudah untuk memahami mereka. Jangan segan ajak mereka mengobrol dan dengarkan saja apa yang mereka ungkapkan. Kita bisa memulainya dengan mengajak berbincang adik kecil kita atau saudara kecil lainnya, anak-anak di sekitar rumah, atau kalau perlu ikut komunitas yang kerap mengunjungi anak-anak. Perbanyak interaksi dengan mereka. Saya pribadi belum terlalu berpengalaman untuk poin yang satu ini. Saya belum banyak meluangkan waktu untuk berkumpul bersama para teman kecil. Siasatnya adalah dengan memperbanyak membaca buku-buku anak, menonton film anak-anak, atau program anak-anak di televisi. Pokoknya semua media anak, lahap saja. Lama-lama Anda akan jatuh cinta dan ingin kembali jadi anak-anak lagi.

5.Cek dan ricek
Poin ini juga kewajiban semua editor buku, pastinya. Jangan sampai ada bagian cerita atau kalimat janggal yang masih tertinggal. Mari kita jaga anak-anak dengan literatur yang bermutu, demi masa depan mereka.

Saat ini, intensitas menyunting buku anak memang sudah berkurang. Namun saya selalu berusaha meluangkan waktu untuk lebih mencintai dunia literasi anak. Mungkin saya akan mulai menulis lagi, mari kita lihat saja nanti. Bagaimana denganmu? Apa yang kamu baca dan tulis tentang teman-teman kecil kita hari ini? Mari berbagi kritik dan saran ^^


No comments:

Post a Comment