Dokter, pramugari, polisi, semua
pernah mampir di kolom cita-cita saya. Satu tambahan lagi: penyanyi. Ini
gara-gara saya mendapat tepuk tangan meriah kala menyanyi di depan hadirin yang
tidak saya kenal ketika belum beranjak masuk TK. Bisa jadi mereka tertawa
karena saya konyol, bukan karena saya bertalenta.
Dokter,
pramugari, dan polisi sedikit demi sedikit sirna dari ingatan. Saya lebih suka
menulis cerita tentang keluarga saya secara serampangan di lembar kosong buku
resep masakan ibu. Sisanya, saya lebih suka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa
hingga bibi menegur.
Dua
kesukaan itu berjalan seimbang dari hari ke hari. Kesukaan menulis saya
akhirnya terdukung semenjak dihadiahi buku harian sebagai kado ulang tahun
ketika masuk SD. Sementara, hasrat bermusik akhirnya hanya terhenti sebatas
menjadi dirigen paduan suara ketika SMP. Hingga kini, akhirnya saya hanya permanen
menjadi penikmat musik sepanjang waktu, pembaca ulasan musik, dan pemain gitar
(di bawah) kelas teri. Sampai di situ saja, tak lebih.
Sementara,
grade menulis terus meningkat. Ada
saja tangga untuk dinaiki. Saya pun mulai bercita-cita menjadi jurnalis dan
penulis, dan masih bertahan hingga kini. Saya sempat curiga dengan asal mula
cita-cita saya yang ini. Jangan-jangan ada penyebab lain selain berawal dari
kegemaran. Pasalnya, ibu bercerita, seorang kerabat dengan sengaja
mengikutsertakan sebatang pensil ke dalam kendi ari-ari saya yang dikubur di
tanah. “Biar pintar,” katanya.
Lalu
ayah bercerita, semasa saya kecil, saya sekeluarga pernah tinggal di kawasan
belakang percetakan surat kabar harian terbesar DIY dan bertetangga dekat
dengan wartawan surat kabar bersangkutan. Di lain hari, ibu mendorong saya
mengirim tulisan di surat kabar karena semasa remaja ibu bangga mendapat uang
saku dari menulis.
Yap!
Pensil terkubur dalam ari-ari, tinggal di belakang percetakan, bertetangga
dengan wartawan. Terjawab sudah mitos kenapa saya bercita-cita menjadi jurnalis.
Analogi tak nyambung? Ah, sudahlah.
Cita-cita
ini terus saya pupuk hingga subur semasa SMA dan berbuah semasa kuliah. Selama
SMA, sumbangan terbesar saya untuk sekolah hanyalah kejuaraan lomba jurnalistik
bersama teman-teman. Hanya saya seorang yang kemudian melanjutkan studi ilmu
komunikasi. Seorang teman satu tim memilih menjadi dokter dan semenjak SMA
memanggil saya ‘mbak jurnalis’.
Panggilan
itu tak pelak terus memompa semangat. Selam, pecinta alam, bahkan orkestra dan
paduan suara tak mampu mengambil hati saya ketika kuliah. Hanya salah satu UKM
bidang jurnalistik berupa surat kabar mahasiswa, menjadi pertama dan
satu-satunya UKM yang saya geluti.
Tangga
masih saja terbuka. Saya diajak naik menjadi orang nomor satu dalam salah satu divisi
vital surat kabar mahasiswa. Tangga dan semangat terus naik seiring realitas
yang menurunkan kemungkinan. Namun kenyataan semakin memaksa saya
mendefinisikan ulang cita-cita saya.
Saya
masih punya cita-cita yang sama, menggenggam semangat yang sama. Namun ternyata
besarnya semangat belum cukup membuktikan bahwa itulah cita-cita utama saya.
Cita-cita utama menyeruak mendadak dalam kebimbangan. Saya harus
mendahulukannya.
Kembali
teringat pada pensil dalam ari-ari dan tangga yang saya naiki susah payah.
Panggilan sayang teman saya masih menjadi hantu. Mungkin seharusnya saya
membuat cita-cita yang umum saja: berguna bagi keluarga dan nusa bangsa.
Bukankah
memang tak ada yang abadi? Roda terus berputar, bola terus bergulir, apalah
namanya itu. Saya terus meyakinkan diri bahwa cita-cita masa kecil ini tak
terkubur. Ia hanya berubah bentuk saja tanpa kehilangan esensi.
No comments:
Post a Comment