Thursday 2 May 2013

Tentang Cita-cita



Dokter, pramugari, polisi, semua pernah mampir di kolom cita-cita saya. Satu tambahan lagi: penyanyi. Ini gara-gara saya mendapat tepuk tangan meriah kala menyanyi di depan hadirin yang tidak saya kenal ketika belum beranjak masuk TK. Bisa jadi mereka tertawa karena saya konyol, bukan karena saya bertalenta.

Dokter, pramugari, dan polisi sedikit demi sedikit sirna dari ingatan. Saya lebih suka menulis cerita tentang keluarga saya secara serampangan di lembar kosong buku resep masakan ibu. Sisanya, saya lebih suka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa hingga bibi menegur.

Dua kesukaan itu berjalan seimbang dari hari ke hari. Kesukaan menulis saya akhirnya terdukung semenjak dihadiahi buku harian sebagai kado ulang tahun ketika masuk SD. Sementara, hasrat bermusik akhirnya hanya terhenti sebatas menjadi dirigen paduan suara ketika SMP. Hingga kini, akhirnya saya hanya permanen menjadi penikmat musik sepanjang waktu, pembaca ulasan musik, dan pemain gitar (di bawah) kelas teri. Sampai di situ saja, tak lebih.

Sementara, grade menulis terus meningkat. Ada saja tangga untuk dinaiki. Saya pun mulai bercita-cita menjadi jurnalis dan penulis, dan masih bertahan hingga kini. Saya sempat curiga dengan asal mula cita-cita saya yang ini. Jangan-jangan ada penyebab lain selain berawal dari kegemaran. Pasalnya, ibu bercerita, seorang kerabat dengan sengaja mengikutsertakan sebatang pensil ke dalam kendi ari-ari saya yang dikubur di tanah. “Biar pintar,” katanya.

Lalu ayah bercerita, semasa saya kecil, saya sekeluarga pernah tinggal di kawasan belakang percetakan surat kabar harian terbesar DIY dan bertetangga dekat dengan wartawan surat kabar bersangkutan. Di lain hari, ibu mendorong saya mengirim tulisan di surat kabar karena semasa remaja ibu bangga mendapat uang saku dari menulis.

Yap! Pensil terkubur dalam ari-ari, tinggal di belakang percetakan, bertetangga dengan wartawan. Terjawab sudah mitos kenapa saya bercita-cita menjadi jurnalis. Analogi tak nyambung? Ah, sudahlah.

Cita-cita ini terus saya pupuk hingga subur semasa SMA dan berbuah semasa kuliah. Selama SMA, sumbangan terbesar saya untuk sekolah hanyalah kejuaraan lomba jurnalistik bersama teman-teman. Hanya saya seorang yang kemudian melanjutkan studi ilmu komunikasi. Seorang teman satu tim memilih menjadi dokter dan semenjak SMA memanggil saya ‘mbak jurnalis’.

Panggilan itu tak pelak terus memompa semangat. Selam, pecinta alam, bahkan orkestra dan paduan suara tak mampu mengambil hati saya ketika kuliah. Hanya salah satu UKM bidang jurnalistik berupa surat kabar mahasiswa, menjadi pertama dan satu-satunya UKM yang saya geluti.

Tangga masih saja terbuka. Saya diajak naik menjadi orang nomor satu dalam salah satu divisi vital surat kabar mahasiswa. Tangga dan semangat terus naik seiring realitas yang menurunkan kemungkinan. Namun kenyataan semakin memaksa saya mendefinisikan ulang cita-cita saya.

Saya masih punya cita-cita yang sama, menggenggam semangat yang sama. Namun ternyata besarnya semangat belum cukup membuktikan bahwa itulah cita-cita utama saya. Cita-cita utama menyeruak mendadak dalam kebimbangan. Saya harus mendahulukannya.

Kembali teringat pada pensil dalam ari-ari dan tangga yang saya naiki susah payah. Panggilan sayang teman saya masih menjadi hantu. Mungkin seharusnya saya membuat cita-cita yang umum saja: berguna bagi keluarga dan nusa bangsa.

Bukankah memang tak ada yang abadi? Roda terus berputar, bola terus bergulir, apalah namanya itu. Saya terus meyakinkan diri bahwa cita-cita masa kecil ini tak terkubur. Ia hanya berubah bentuk saja tanpa kehilangan esensi. 

Welcome to the real world. Passion isn’t just about a job or childhood dream. I’m still a writer and always will be, whoever I am…

No comments:

Post a Comment