Thursday 19 May 2016

Being the First is Never be Easy!

Menjadi nomor satu adalah tentang meraih prestasi. Menjadi nomor satu adalah tentang berpeluh mengejar posisi. Maka tak salah jika kita katakan bahwa menjadi nomor satu itu bukanlah hal mudah. Untuk menjadi nomor satu, kita butuh perjuangan, pengorbanan, keteguhan, kesabaran, dan sejuta kosakata lainnya yang biasa mendahului kesuksesan.

Namun ada situasi 'menjadi nomor satu' yang bersifat bawaan lahir, yakni terlahir sebagai anak pertama. Memang gelar nomor satu yang disandang anak pertama langsung tersemat begitu ia terlahir ke dunia, bahkan tanpa diminta. Namun bukan berarti menjadi nomor satu dalam konteks anak pertama tak lepas dari perjuangan dan seterusnya seperti halnya berkompetisi.

Konteks yang akan saya curhatkan di sini adalah tentang menjadi anak pertama, yakni seorang anak yang lahir pertama kali dalam sebuah keluarga lalu memiliki seorang atau beberapa orang adik. Maka anak tunggal tidak termasuk dalam pembahasan ini. Ini adalah tentang anak pertama yang berperan sebagai seorang kakak.

Karena judul tulisan ini mengandung kata-kata 'never be easy', sudah seharusnya saya menampilkan hal yang susah-susah dari menjadi anak pertama. Namun saya akan sedikit melanggar peribahasa 'bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian'. Saya ceritakan dulu sisi-sisi enak menjadi yang lahir duluan di dunia.

Ketika seorang anak pertama lahir ke dunia, orang tua begitu senangnya menyambut kehadiran sang buah hati. Maka adalah benar anak pertama adalah anak yang pada umumnya mengalami suasana 'dimanja' yang cukup lama sebelum akhirnya punya adik. Sebenarnya privilege-privilege ini masih berlanjut hingga dewasa. Anak pertama biasanya akan menjadi semacam early adopter. Ia yang akan pertama kali dibelikan fasilitas belajar, sepeda, kendaraan bermotor, perangkat komputer, dan gadget serupa lainnya. Di bagian ini, anak pertama boleh bangga di kala sang adik menangis di pojokan meminta barang yang sama.

Sejak kecil, biasanya anak pertama juga sudah dicekoki dengan arahan bahwa ia harus menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya. Entah sadar atau tidak, ini kemudian membuat si anak pertama cenderung menjadi ambisius dengan daftar pencapaian selangit yang siap dikejar. Si anak pertama juga mungkin sadar suatu hari dialah yang akan jadi sandaran bila terjadi sesuatu pada kedua orang tua atau sanak saudara. Maka, keuntungan selanjutnya adalah anak pertama menjadi natural leader. Segala hal enak di atas menjadikan si anak sulung ini beruntung dan terbentuk karakternya.

Sudah siap dengan hal-hal tidak enaknya? Salah satu sikap yang paling familiar dan ditanamkan dengan gencar ketika pertama kali punya adik adalah 'mengalah'. Ketika adik mulai kencing di atas buku gambar kakak, saat itulah kakak harus mengalah. Ketika adik iri dan merebut mainan kakak, kakak juga harus mengalah. Seorang kakak yang baru berusia balita atau paling banter 5-6 tahun tentu merasa tindakan 'mengalah' ini tidak fair. Merasa teraniaya sekaligus harus mengalah, begitu pikirnya waktu kecil. Menjadi yang pertama berarti juga harus siap dimintai tolong, diminta melindungi, diminta mengajari, dan seterusnya. Hingga dewasa, peran ini biasanya masih akan terus melekat.

Toh, ternyata sisi tidak enak jadi anak sulung cukup sepadan dengan pembentukan kepribadian yang lebih tangguh. Jadi, meski tidak mudah, nikmati sajalah.













No comments:

Post a Comment