Thursday 19 May 2016

Being the First is Never be Easy!

Menjadi nomor satu adalah tentang meraih prestasi. Menjadi nomor satu adalah tentang berpeluh mengejar posisi. Maka tak salah jika kita katakan bahwa menjadi nomor satu itu bukanlah hal mudah. Untuk menjadi nomor satu, kita butuh perjuangan, pengorbanan, keteguhan, kesabaran, dan sejuta kosakata lainnya yang biasa mendahului kesuksesan.

Namun ada situasi 'menjadi nomor satu' yang bersifat bawaan lahir, yakni terlahir sebagai anak pertama. Memang gelar nomor satu yang disandang anak pertama langsung tersemat begitu ia terlahir ke dunia, bahkan tanpa diminta. Namun bukan berarti menjadi nomor satu dalam konteks anak pertama tak lepas dari perjuangan dan seterusnya seperti halnya berkompetisi.

Konteks yang akan saya curhatkan di sini adalah tentang menjadi anak pertama, yakni seorang anak yang lahir pertama kali dalam sebuah keluarga lalu memiliki seorang atau beberapa orang adik. Maka anak tunggal tidak termasuk dalam pembahasan ini. Ini adalah tentang anak pertama yang berperan sebagai seorang kakak.

Karena judul tulisan ini mengandung kata-kata 'never be easy', sudah seharusnya saya menampilkan hal yang susah-susah dari menjadi anak pertama. Namun saya akan sedikit melanggar peribahasa 'bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian'. Saya ceritakan dulu sisi-sisi enak menjadi yang lahir duluan di dunia.

Ketika seorang anak pertama lahir ke dunia, orang tua begitu senangnya menyambut kehadiran sang buah hati. Maka adalah benar anak pertama adalah anak yang pada umumnya mengalami suasana 'dimanja' yang cukup lama sebelum akhirnya punya adik. Sebenarnya privilege-privilege ini masih berlanjut hingga dewasa. Anak pertama biasanya akan menjadi semacam early adopter. Ia yang akan pertama kali dibelikan fasilitas belajar, sepeda, kendaraan bermotor, perangkat komputer, dan gadget serupa lainnya. Di bagian ini, anak pertama boleh bangga di kala sang adik menangis di pojokan meminta barang yang sama.

Sejak kecil, biasanya anak pertama juga sudah dicekoki dengan arahan bahwa ia harus menjadi teladan yang baik bagi adik-adiknya. Entah sadar atau tidak, ini kemudian membuat si anak pertama cenderung menjadi ambisius dengan daftar pencapaian selangit yang siap dikejar. Si anak pertama juga mungkin sadar suatu hari dialah yang akan jadi sandaran bila terjadi sesuatu pada kedua orang tua atau sanak saudara. Maka, keuntungan selanjutnya adalah anak pertama menjadi natural leader. Segala hal enak di atas menjadikan si anak sulung ini beruntung dan terbentuk karakternya.

Sudah siap dengan hal-hal tidak enaknya? Salah satu sikap yang paling familiar dan ditanamkan dengan gencar ketika pertama kali punya adik adalah 'mengalah'. Ketika adik mulai kencing di atas buku gambar kakak, saat itulah kakak harus mengalah. Ketika adik iri dan merebut mainan kakak, kakak juga harus mengalah. Seorang kakak yang baru berusia balita atau paling banter 5-6 tahun tentu merasa tindakan 'mengalah' ini tidak fair. Merasa teraniaya sekaligus harus mengalah, begitu pikirnya waktu kecil. Menjadi yang pertama berarti juga harus siap dimintai tolong, diminta melindungi, diminta mengajari, dan seterusnya. Hingga dewasa, peran ini biasanya masih akan terus melekat.

Toh, ternyata sisi tidak enak jadi anak sulung cukup sepadan dengan pembentukan kepribadian yang lebih tangguh. Jadi, meski tidak mudah, nikmati sajalah.













Sunday 30 November 2014

Fighting for two things at the same time is such a...

Long time struggle toward life choices,
the end brings two options in, together,
amazement still astonishingly lean back in mind,
how finally, these choices started to be a strong willpower,
running at the same time, simultaneously,
fortunately,
they're walking in the same direction,
such as pulling two big rocks in right and left hand while walking,
fortunately,
the street now is still flat, the ropes are still strong,
if it's steep later,
I know how to bring those rocks,
if I'm toppled later,
there are trees on the edge to curb me,
there's a grassland below, ready to watch me fall,
now what I'm looking for is sunshine at the end of the hill,
where I put the rocks I hug tightly.

(Sleman, November 2014)


Saturday 31 May 2014

Kenapa Inggris #2: Membuktikan Negeri Impian Itu Ada

Sejak meninggalkan rahim ibunda, saya tak pernah tinggal di tempat lain selain Jogja. Ya, itu tempat tinggal saya sekarang, dari dulu. Sebuah daerah yang orang bilang nyaman, paling nyaman bahkan. Mau ditinggali sampai akhir hayat pun diri ini tak pernah protes.

Pengantar singkat di atas sepertinya sudah menjelaskan kalau saya tidak pernah pergi ke mana-mana. Cuma mudik lebaran yang membawa saya ke Jawa Timur. Cuma piknik sekolah yang membawa saya ke Bali. 

Kalimantan? Sulawesi? Papua? Untung ada atlas. Setidaknya saya tahu bentuk pulaunya. Lalu bagaimana dengan negara lain? Untung halaman tengah atlas menyematkan peta dunia. Saya jadi tahu Inggris ada di pojokan sana. Sejauh ini, baru jari telunjuk saya yang sampai ke negara kecil di peta dunia itu.

Saya pun berniat, suatu hari saya harus pergi ke luar negeri selain naik haji. Inggris adalah sebuah pilihan paling kena di hati tatkala saya ingat semua yang berhubungan dengan Inggris adalah hal menarik. Dalam hal ini, branding Inggris di otak saya sukses total. Negara ini tak perlu mempromosikan hal menarik yang dimilikinya satu per satu. Cukup sebut nama negara ini, minimal saya akan melirik, maksimal saya bisa tampak gila tak terhingga.

Jadilah salah satu impian saya adalah pergi ke Inggris, ke negeri di mana banyak hal yang saya sukai ada di sana. Kenapa impian? Impian biasanya mengandung hal-hal yang sulit digapai dan membutuhkan usaha berlebih untuk mencapainya. Jelas pergi ke Inggris adalah impian buat saya. Kurang sulit apa? Mau jalan kaki, mau sampai kapan sampainya. Jalan kaki berarti butuh berenang menyeberangi laut dan selat, dan...saya tidak bisa berenang.

Sebentar...sebentar. Mari kita bahas hal-hal yang realistis saja. Jalan kaki ke Inggris jelas tidak realistis. Mungkin membicarakan tiket pesawat, paspor, dan visa jauh lebih realistis. Bahkan yang realistis pun masih terasa sulit saudara-saudara. Dengan gaji kotor sedikit di atas UMR, adalah berat membeli tiket penerbangan Jakarta-London sekitar Rp 10 juta belum PP. Belum lagi ketika saya harus mengendapkan minimal Rp 50 juta dalam rekening saya sebagai syarat pengajuan visa.

Mungkin saya mampu mengumpulkan uang tetapi tentu tak akan terkumpul dalam waktu dekat, kecuali saya menang undian, mendadak kaya, atau suami saya tinggal di Inggris, who knows? Opsi lainnya adalah mencari pihak yang akan 'membiayai' saya pergi ke negeri impian. Entah beasiswa studi, mertua yang tinggal di Inggris (apa-apaan ini), atau mungkin Mister Potato :)

Dan itulah yang saya lakukan selama ini. Saya tunggu saja mana yang lebih dulu: 'tabungan terkumpul' atau 'ada yang membiayai'. Tugas saya sekarang adalah berusaha dan berdoa. Berusaha secara konkret maupun berusaha memelihara impian saya ini. Kita semua tahu fokus hidup bisa saja terpecah dan mimpi pun enyah. Namun, saya harap, seiring Big Ben dan Tower Bridge bohongan masih menempel di dinding kamar, saya akan terus teringat impian saya.

Alasan kedua, kenapa pergi ke Inggris adalah impian? Saya melihat Inggris melalui buku, surat kabar, majalah, layar kaca, hingga layar lebar. Di media-media tersebut, Inggris seperti negeri yang tak pernah ada: tampak indah sekali. Benarkah apa yang saya lihat itu betulan ada di seberang benua sana?  Saya mau memastikan, keindahan yang saya lihat bukanlah rekayasa fotografi atau hiperbola media massa.

Mungkin orang bilang ikon-ikon unik Inggris adalah hal biasa saja. Melihat London Eye mungkin sama biasanya dengan melihat Monas, yang saya saja belum pernah melihat secara langsung. Lagi-lagi brand Inggris yang sudah tertanam kuat di pikiran saya, membuat London Eye yang sepintas tampak seperti bianglala di alun-alun utara tampak istimewa. Tentu saja dia memang istimewa, bukan?

Mungkin lanskap Inggris tampak indah dan begitu bercokol di benak saya karena melihat apa yang tersuguh dalam produk-produk budaya populer. Apa saja memangnya?

1. Musik
Saya pernah heran dengan pernyataan seorang penyanyi yang bilang "sehari tanpa musik rasanya sakit". Kala itu, saya berpikir, "ah, berlebihan". Ternyata dia benar, pemirsa! Sehari tanpa musik itu rasanya seperti tak keluar rumah seminggu. Jiwa rasanya kering seperti orang yang bekerja delapan jam sehari dan pulang-pulang langsung tidur. Membosankan? Ya, semacam itu.

Jadilah saya mendengarkan musik setiap harinya, berjam-jam. Lalu mulailah saya bisa memilah mana yang akan saya dengarkan dan tidak. Mana yang akan saya bilang keren dan biasa saja. Mungkin saya menyukai John Mayer, Linkin Park, Nirvana (ternyata selera musik saya random), dan musisi Paman Sam lainnya. Namun ternyata, silakan kalau tidak percaya, musik dari Inggris yang saya dengarkan bisa menciptakan kekuatan magis tersendiri. Dari yang indie pop, britpop, alternative rock, segala deh. Entahlah.

Buat saya, musik yang bagus adalah musik yang berhasil menciptakan lanskap tertentu dalam pikiran. Tentu ini subjektif ya. Namun pemandangan indah memang berhasil tercipta dalam benak tatkala mendengarkan The Beatles, Camera Obscura, Coldplay, Keane, dan sebutkan band Inggris lainnya yang kadang membius dan sendu-mengharu-biru. Dari kamar tidur, saya bisa terlempar ke padang rumput hanya dengan mendengar musik mereka.

Itu contoh pertama. Banyak lagi musisi Inggris lainnya yang pantas mendapatkan kata salut. Apalagi Inggris adalah pusat tumbuhnya genre musik populer. Ladies and gentlemen, please welcome, The Beatles, Queen, Rolling Stones, Blur, Oasis, Radiohead, and many more...

Saya dan Anda pasti setuju musisi-musisi di atas tidak sembarangan. Saya penasaran, suasana seperti apa yang membuat mereka mampu berkarya sebrilian itu. Bagaimana negeri mereka bisa membuat mereka menghasilkan karya-karya hebat. Saya ingin melihat bagaimana dinding Abbey Road Studio memantulkan karya besar yang dikenang sepanjang masa. Saya ingin melihat jalanan dan tempat-tempat yang menjadi inspirasi John Lennon dalam berkarya. 

Pasti ada sesuatu dalam sebuah tempat yang menghasilkan musisi-musisi besar, bukan semata karena talenta musisinya saja. Saya percaya itu. Saya akan merasakannya sendiri nanti.

2. Buku dan Film
Mau tak mau, saya harus akui, budaya Inggris memang banyak kita kenal lewat buku dan film. Pada awalnya, semuanya terasa biasa saja. Hingga suatu hari saya tersadar unsur-unsur Inggris ada pada karya-karya yang saya baca dan tonton.  Bayangan Inggris yang seru, asyik, dan indah itu tergambar dari keasyikan Lima Sekawan ketika bersepeda sambil membawa bekal limun, ketika Harry Potter menabrakkan trolinya ke peron, atau ketika Sherlock Holmes menyetop taksi di tepi jalan raya.

Tentu bukan negara sembarangan yang berhasil membuat para penulis berimajinasi dengan mengesankan. Mungkin Inggris memang betul-betul seru, asyik, dan indah. Mungkin Inggris memang seperti negeri dongeng dan fantasi. Jadi, ketika suatu hari saya menginjakkan kaki di Inggris, saya harus meyakinkan diri bahwa apa yang ada di hadapan mata bukanlah set sandiwara. Bantu cubit pipi saya besok.

Sudah beragam cara saya lakukan dan rintis untuk mengunjungi negeri impian. Paling tidak, saya melakukan sesuatu untuk lebih dekat dengan negeri yang saya lihat di layar dan bayangan. Ada yang berhasil, ada yang tidak, yang jelas impian saya belum terwujud.

Meski tak tahu kapan bisa pergi ke sana, saya tetap baca syarat pengajuan paspor dan visa. Saya tak pernah bosan melihat harga paket tur ke Inggris selama delapan hari delapan malam di halaman iklan surat kabar nasional ternama. Advertorial wisata masih saja menyihir pikiran. Masih suka sok senggang dengan mengecek tiket pesawat Jakarta-London dari berbagai maskapai.

Tentu saya juga masih mencari-cari sayembara yang bisa mengantar saya pergi ke sana. Beberapa kali gagal mendapatkan tiket gratis ke Inggris lewat sayembara di British Embassy Jakarta tak mengurungkan niat saya. Setidaknya impian saya terus terpantik lewat hadiah hiburan semacam ini:





Walaupun gagal dapat tiket gratis dan hanya dapat hadiah hiburan berupa bendera Inggris dari kertas dan ucapan selamat dari kedutaan, rasanya sudah seperti melambung ke langit. Rasa-rasanya saya memang bakal ke Inggris suatu hari.

Walaupun tidak menjanjikan bisa pergi ke Inggris gratis, saya rasa meliput kunjungan duta besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, ke kampus saya penting dilakukan. Kebetulan saya menulis untuk situs informasi karir. Setidaknya saya membuktikan bahwa Inggris benar-benar ada, dan sang duta besar ada di depan mata, walau belum sempat foto bersama. (Liputan kunjungan Mark Canning yang saya tulis ada di sini)

Sekaranglah saatnya saya melihat keindahan lain selain kota nyaman yang saya tinggali. Sekarang saya baru melihat ini di Jogja:


Ngejaman, Yogyakarta (panoramio.com)


Suatu hari, saya harus melihat saudara kembarnya di London:


Big Ben (aboutbritain.com)


Sudah pernah ke keraton yang nyaman tenteram ini?


Keraton Yogyakarta (jogjawae.com)

Kita lihat 'keraton' versi Inggris nanti:


Buckingham Palace (visitlondon.com)

Waktu kecil saya mainan ini di alun-alun, saat ada perayaan pasar malam Sekaten:


Bianglala di pasar malam (pariwisata.jogjakota.go.id)


Setelah beranjak besar, saya harus naik bianglala yang lebih besar:


London Eye (visitlondon.com)


Sekarang masih mendengarkan The Beatles di rumah, besok harus 'ketemu langsung' di sini:


Besok harus pose di depan sini (infobritain.co.uk)


Di stasiun kebanggaan Jogja ini, kita tidak bisa main tubruk tembok kecuali mau kepala jadi benjol:


Berani tubruk? (kotawisataindonesia.com)

Besok bisalah ya, pura-pura nubruk dan nembus:


Peron 9 3/4 (travel.detik.com)

Dulu Liverpool FC pernah bermain di stadion kelurahan sebelah:


Stadion Maguwoharjo (bolaindo.com)

Besok harus nonton Liverpool FC langsung di Anfield:


Anfield Stadium (stadiumguide.com)

Jadi Inggris itu benar-benar ada kan ya? Biar impian saya ini jadi nyata. Biar saya yakin pemandangan indah Inggris di televisi bukanlah tipuan layar hijau. Biar saya percaya aksen orang Inggris memang seksi seperti itu.

Yah, semoga saya bisa ke Inggris suatu hari. Mungkin Smax Balls yang kecil imut dan penuh cita rasa ini bisa mengantarkan saya ke negeri impian. Amin :)) 








Baca tulisan saya sebelumnya di sini.



Tuesday 20 May 2014

Kenapa Saya Harus Pergi ke Inggris #1: The Beatles!

Satu lagi kesempatan untuk pergi ke Inggris, setelah setahun yang lalu saya pernah menulis sejumlah alasan kenapa saya harus menginjak black country ini (baca di sini).

Kali ini kesempatan datang lagi dari PT Pacific Indonesia melalui lini produknya, yakni Mister Potato dan Smax, hore! Coba, ada tidak, yang lebih menarik dari 'Ngemil Eksis, Pergi ke Inggris'? Sudah bisa ngemil enak, bisa ngeksis, terus ke Inggris, gratis! Semoga kali ini ngemil Mister Potato dan Smax-nya berbuah manis ya. Amin :)

Kalau diminta menyebutkan alasan kenapa saya mau pergi ke Inggris, tak akan pernah habis cerita saya. Ada saja hal-hal menarik dari negara yang sukses berkat Revolusi Industri ini. Saya sampai bergumam, jangan-jangan kegilaan terhadap suatu negara di luar negara sendiri itu termasuk jenis penyakit. Ya, karena apapun tentang Inggris, saya pasti suka. Percaya atau tidak? Kalau percaya terima kasih, kalau tak percaya ya sudah sih :D

Mumpung ada kesempatan cuap-cuap tentang kenapa saya mau banget ke Inggris, saya berencana menceritakannya secara bertahap dan bersambung dalam part-part. Semoga saja stok produk Mister Potato dan Smax di toko senantiasa bertengger dan melambai minta dibelai...eh...dibeli.

Yap, tulisan ini adalah pembuka sekaligus part #1. Hal pertama dan utama yang saya akan ceritakan adalah tentang The Beatles, sebagai band yang paling berperan bikin saya menempelkan wallsticker bertema inggris-inggrisan di kamar. Dan tentunya, makin bikin saya berencana pergi ke Inggris, entah dibayari atau menabung sendiri, entah kapan mencapai nominal biaya tur.

Kenapa The Beatles?

Lagi-lagi, kalau diceritakan, sampai saya bosan dengan The Beatles pun cerita tidak akan habis. Malahan, sepertinya bosan dengan band satu ini mendekati sulit.

Nah, dari sekian keistimewaan band asal Liverpool ini, mungkin ada baiknya saya rangkum saja dalam poin-poin yang akan teruuuus to be continued.

1. Tak pernah mati

Album pertama The Beatles, 'Please Please Me', dirilis oleh Parlophone Records pada tahun 1963. Tahun demi tahun bergulir, band beranggotakan empat orang pria keren ini menghasilkan 13 album, dan yang terakhir adalah 'Let It Be', pada tahun 1970. Kiprah mereka mungkin memang cuma dalam rentang kurang dari sepuluh tahun dan hanya dalam 13 album. Namun siapa menyangka, 13 album itu terus diburu orang hingga lebih dari 40 tahun berlalu sejak mereka bubar.


Bahkan, 13 album itu terus berkembang dalam berbagai kompilasi album yang masih terus dirilis. Misalnya saja, album 'Live at the BBC', 'Love', '1', 'Past Masters', 'The Beatles Anthology', hingga 'Let It Be...Naked'. Album dalam format vinyl alias piringan hitam pun kembali dirilis di era milenium untuk mengembalikan lagi nuansa klasik dari album mereka.

Selain album yang diburu, lagu-lagu mereka juga masih dinyanyikan oleh banyak band di seluruh dunia. Ada yang sekadar meng-cover ulang lagu mereka, atau yang nyata-nyata bikin band serupa The Beatles untuk melestarikan lagu-lagu mereka. Komunitas penggemar The Beatles pun masih banyak ditemukan di berbagai belahan dunia.

Sampai saya punya cucu, mungkin saya masih bisa bercerita tentang band ini ^^


Penampakan cover semua album.


2. Mereka punya semua lagu
Dengan jumlah album sebanyak 13 biji yang berisi lebih dari 200 lagu, kita tinggal pilih lagu-lagu mereka sesuai suasana hati, pasti ada. Mau yang sedih, senang, nge-rock, sampai lagu anak dan pengantar tidur, semua ada. Mereka punya lagu yang akan menemani kita sejak bangun tidur sampai tidur lagi.

Bangun tidur, kita bisa mendengarkan 'Good Morning, Good Morning' dan 'Here Comes The Sun'. Lagu cinta? Wah, hitung saja sendiri saking banyaknya judul yang memuat kata 'Love', mulai dari 'She Loves You', 'All My Loving', 'All You Need Is Love', 'And I Love Her', daaaan masih banyak lagi. Mau lagu yang cocok buat anak-anak? Ada 'Yellow Submarine'. Mau mengucap ulang tahun? Ada 'Birthday'. Mau tidur? Ada 'Good Night' yang alunan musiknya dijamin bikin kita cepet bobok.

Apa sih yang nggak ada? ^^




3. Pemimpi yang inspiratif
Selain menghibur saya dengan lagu-lagunya yang beragam, mereka juga menyuntikkan inspirasi dengan segudang kisah yang mereka alami sebelum tenar. Yang paling membuat saya kagum, mereka mengawali sukses dengan percaya pada mimpi mereka. Dreams. Saya paling suka kalimat John Lennon yang saya kutip dari buku 'The Beatles Way':

I believe in everything until it's disproved.
So I believe in fairies, the myths, dragons.
It all exists--even if it's in your mind.
Who's to say that dreams and nightmares aren't as real as the here and now?
Reality leaves a lot to the imagination.


Sebelum band ini menyentuh puncak kejayaan, pada tahun 1950-an mereka adalah penggemar penyanyi Amerika yang sangat populer saat itu: Elvis Presley. Ketika John ditanya apa mimpinya semasa muda, ia menjawab: "to be bigger than Elvis!". Ternyata, pada tahun 1960-an ia berhasil membuktikan perkataannya. 

Kisah lainnya datang dari sang penggebuk drum, Richard Starkey alias Ringo Starr. Ketika usianya masih 12 tahun, ia kerap berjalan-jalan di sepanjang jalanan Liverpool, memandangi toko musik dari luar jendela. Ia memimpikan saat-saat di mana ia akan memiliki satu set drum bermerek Ludwig. Sejak kecil, ia hanya menginginkan drum, tak pernah melirik gitar ataupun alat musik lain. Setelah karirnya bersama The Beatles terus menanjak, memiliki satu set drum Ludwig bukan lagi hal mustahil. Bahkan, hingga kini drum Ludwig sangat identik dengan The Beatles karena begitu seringnya Ringo menggunakannya dalam setiap aksi panggung.

Ya, seperti disebut juga dalam buku yang sama, rahasia sukses mereka menurut sang gitaris George Harrison adalah perkataan Mahatma Gandhi: "create and preserve the image of your choice." Ciptakan dan pertahankan bayangan tentang apa yang menjadi pilihanmu!




4. Trendsetter
Saat jayanya, The Beatles adalah pemimpin tren. Gaya rambut, gaya berpakaian, dan apa yang mereka lakukan adalah pedoman apa yang disebut bergaya atau nge-tren. Bahkan, kalau kita amati, sebenarnya beberapa gaya mereka masih pantas digunakan pada masa kini. Lihat saja gaya rambut mereka pada tahun 1964. Pada tahun itu, kebanyakan orang lain berambut rapi dan klimis seperti penampakan sang manajer, Brian Epstein, berikut:



Namun, mereka memilih bergaya rambut seperti ini:

Yah, pokoknya rambutnya masih bisa gerak tertiup angin.


5. Yah, pokoknya kagumi saja mereka!
Poin terakhir? Ya, kagumi saja mereka. Mereka memang layak mendapat perhatian. Segala peringkat nomor satu hampir pasti pernah mereka sandang. Album terbaik? Majalah musik Rolling Stone telah menobatkan album mereka yang bertajuk 'Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band' sebagai album terbaik dibandingkan 499 album lainnya yang terpilih. Peringkat penjualan album mereka pun adalah salah satu yang tertinggi dalam sejarah. Hingga kini angka penjualan masih terus berputar. Sebentar lagi, saya juga akan menambahkan satu angka penjualan untuk album mereka setelah tabungan saya cukup :D

Mungkin saya memang tidak kenal mereka secara personal. Bertemu langsung saja tidak pernah. Bahkan pernah hidup semasa dengan mereka pun tidak. Yang saya tahu, saya terhibur dan terinspirasi oleh karya-karya mereka. Mungkin tahun 1960-an itu tidak menarik, tak ada gadget, tak ada internet, tetapi gara-gara mereka saya mau mencicip kegempitaan 1960-an.

Sekarang, waktunya saya memberi sedikit bukti bahwa saya menyukai mereka :D




Yang di sebelah kanan adalah majalah Newsweek edisi khusus Special Commemorative Issue 'The Beatles: 50 Years Since The Music Started'. Versi cetak majalah terbitan Amerika Serikat ini ternyata bangkrut beberapa bulan setelah edisi ini terbit. Praktis, majalah yang saya pegang ini adalah Newsweek edisi terakhir yang memampang The Beatles di cover depan. Dan, perjuangan membeli majalah ini tak semudah beli buku TTS di lapak koran sebelah. Baca kisah selengkapnya di sini.

Nah, buku yang di sebelah kiri itu adalah buku biografi The Beatles yang bisa dibilang paling sah, meski belum tentu seutuhnya. Buku yang saya pegang adalah terbitan tahun 2010 yang sudah diperbarui oleh penulisnya, Hunter Davies. Sementara, cetakan pertama buku ini terbit pada 1968. Hunter Davies sendiri memang disetujui secara resmi untuk menulis biografi The Beatles. Hampir sebagian besar kisah The Beatles yang pernah kita baca ada pada buku ini. Katanya. Saya belum membuktikan secara keseluruhan tetapi saya percaya seharusnya memang begitu :D

Yeah, semoga besok ada pesan masuk yang mengabarkan saya bisa segera pergi ke Inggris. Karena saya suka The Beatles, sesampai di Inggris saya tentu akan berkunjung ke The Beatles Story Exhibition, patung lilin The Beatles di Madame Tussauds, Abbey Road Studio, Cavern Club, dan tempat-tempat lainnya yang akan mengingatkan kita pada The Beatles. Nah, sebelum pergi ke Inggris gratis, mari ngemil eksis dulu:

Berfoto dulu di depan stiker, besok ngemil di depan Big Ben betulan.

Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya. Dare to dream!



Sumber gambar:
http://beatlesjpgr.com
http://popchartlab.com
http://taolifestudio.com 
http://sjphoto.com

Thursday 8 May 2014

Children Book Editing: Understanding Children's Mind

Judul di atas seperti judul referensi skripsi ya? Padahal sudah setahun lebih waktu berlalu, aroma bibliografi masih saja belum lepas.

Hampir setahun pula saya tak menyentuh galeri tulisan pribadi saya ini. Alasan klise tentu saja, kesibukan bekerja. Bahkan meski kegiatan blogging sudah saya susun dalam jadwal harian, tetap saja saya-nya yang enggan mematuhi jadwal sendiri. Maunya setelah pulang kantor adalah mendengarkan musik atau nonton film. Pokoknya kegiatan-kegiatan yang effortless begitulah. Baca koran yang sudah dilanggan pun kadang malas dan akhirnya merasa bersalah karena sudah membayar biaya langganan. 

Jadi mumpung sekarang selo, saya 'paksa' diri untuk posting. Bloggers must post, don't we? Tapi saya juga belum bisa disebut blogger sih, cuma iseng nulis aja. 

Ah, sepertinya sudah kepanjangan cuap-cuap intronya. Sekarang saatnya saya bercerita. Ini cerita tentang kegiatan saya dulu sebagai freelance. Semenjak kuliah tingkat akhir, saya sudah kerja serabutan menulis dan menyunting. Salah satu pekerjaan paling mengesankan adalah menyunting buku. 

Ya, menyunting buku. Sounds boring? Tunggu dulu. Ada pekerjaan menarik sebagai tester games, tester hotel, tester cokelat, dan sejenisnya. Kerjaannya adalah main game, keliling hotel, dan makan cokelat. Menyenangkan bukan?

Pekerjaan menyunting sebenarnya juga hampir sama dengan tester. Bayangkan saja, Anda dibayar untuk membaca buku (ya sama ngedit juga sih). Editor adalah seorang book tester yang memastikan sebuah buku layak jual dan layak baca. Istimewanya lagi, Anda adalah orang yang pertama kali membaca sebelum sebuah buku nangkring di rak toko buku. Anda boleh sombong ketika si penulis sebenarnya awut-awutan tulisannya dan Andalah yang membenahi. 

Kembali ke topik, singkat cerita, saya membaca lowongan proofreader (pemeriksa aksara) di salah satu penerbit buku ternama yang berlokasi di DIY. Saya segera menghubungi kakak angkatan saya, Mbak Susanti Nurul Amri, yang saat itu bekerja sebagai editor fiksi anak di penerbit tersebut. 

Pucuk dicinta, saya malah ditawari jadi outsource editor alias editor alih daya yang bekerja secara freelance. Sudah menyenangkan, tak ada jam kantor pula. 

Akan tetapi, saya juga masih kurang percaya diri kala itu. Saya sama sekali belum pernah punya pengalaman menyunting buku, termasuk buku fiksi anak. Saya hanyalah anak kuliahan yang merangkap anak pers mahasiswa, yang sesekali baca buku. 

Akhirnya, dengan bekal diskusi dan pembekalan penyuntingan singkat oleh Mbak Susan, saya coba 'nekat' menyunting buku. Mbak Susan hanya bilang, kalau kerjaan saya bagus, order akan datang lagi. Dan ternyata saya selalu kedatangan order setiap bulannya dan bolehlah diartikan kerjaan saya tidak buruk-buruk amat.

Selama rentang waktu hampir 1,5 tahun menyunting buku fiksi anak, ada banyak hal yang saya pelajari. Selagi luang, saya akan ceritakan semuanya di sini. Jika suatu hari Anda ingin menggeluti profesi tester a.k.a editor buku fiksi anak, setidaknya hal-hal di bawah ini bisa dijadikan pertimbangan dan pembelajaran:

1. Masuki dunia mereka
Sebagai editor buku anak, tentulah kita harus memahami dunia anak. Nantinya, pembaca buku yang kita sunting adalah anak-anak. Jadi, kita harus menempatkan diri pada posisi mereka. Caranya? Banyak yang bisa kita lakukan, mulai dari banyak membaca buku anak-anak, sering bermain dengan anak-anak, serta perhatikan apa yang mereka lakukan dan imajinasikan. Kalau sudah begitu, kita akan tahu, mana yang akan menarik dibaca oleh anak, dan mana yang tidak pantas tersaji untuk mereka.

Terkadang, ketika buku anak yang kita sunting adalah buku yang memang ditulis oleh penulis cilik, kita harus pandai-pandai memasuki imajinasi si penulis. Ketika kita telah mengerti apa yang mereka bayangkan, kita tak lagi kesulitan menyelaraskan alur cerita mereka.
  
2. Peka, peka, dan peka
Senada dengan memasuki dunia anak dan memahami mereka, kepekaan tak kalah penting. Saya pernah melakukan beberapa kesalahan karena ketidakpekaan ketika menyunting buku anak. Pertama, saya membiarkan saja bagian cerita mengenai tokoh dalam Cinderella yang menumbuk gelas kaca milik ibu tiri Cinderella untuk digunakan sebagai penghias sepatu kaca. Saya memandang ini sebagai bentuk kreativitas. Namun ternyata, teman editor saya memandangnya lain. Menumbuk gelas kaca adalah hal berbahaya yang dikhawatirkan akan ditiru oleh pembaca anak-anak. Selain itu, menumbuk gelas ibu tiri tanpa izin tentunya bukan perbuatan yang baik meski kita semua tahu si ibu tiri memang jahat.

Kedua, saya pernah--entah kenapa--merasa 'gusar' dengan bagian garing dalam cerita yang dibuat oleh penulis anak-anak. Si penulis ini berhaha-hihi ria di sembarang tempat dan saya merasa itu agak mengganggu. Sudah begitu memang tidak lucu. Dengan percaya diri, saya menghapus bagian haha-hihi itu supaya cerita mengalir lebih jelas. Ternyata, hal seperti ini sebaiknya dipertimbangkan baik-baik. Ya, karena selera humor kita dan anak-anak tentu berbeda. Bisa jadi menurut kita garing, ternyata di luar sana anak-anak ngakak guling-guling sambil bawa buku yang kita sunting.

3. Sabar alih-alih bubar
Nah, kesabaran bisa jadi adalah bekal paling utama bagi editor selain ketelitian. Menurut saya, ini berlaku untuk semua jenis editor buku, apalagi editor buku anak. Namanya juga anak-anak, tentu yang lebih banyak kita lihat adalah keluguan alih-alih cerita yang fantastis dari hasil karya mereka. Mereka mungkin mudah bosan dan tidak sabaran. Alhasil, alur cerita yang mereka tulis berlalu begitu cepat dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Maunya langsung ending saja.

Saya juga pernah menyunting cerita bikinan anak yang seperti itu. Ada penjahat beraksi, keadaan kacau-balau, tahu-tahu si penjahat sudah menyerahkan diri ke polisi. Sebagai orang dewasa yang (berlagak) sudah sering nonton film (hahaha), tentu kita menganggap cerita ini sama sekali tidak menarik dan garing sekali. Namun sekali lagi, kita harus memberikan ruang untuk keluguan dan imajinasi mereka. Pada saat itu, saya diminta untuk menambahkan sedikit sisipan cerita tambahan agar masing-masing peristiwa berjalan secara berkesinambungan. Lagi-lagi di sinilah pentingnya kita memahami dunia mereka untuk bisa 'merapikan' imajinasi mereka.

4. Banyak bergaul dengan anak-anak
Bergaul dengan anak-anak tentu juga salah satu cara paling mudah untuk memahami mereka. Jangan segan ajak mereka mengobrol dan dengarkan saja apa yang mereka ungkapkan. Kita bisa memulainya dengan mengajak berbincang adik kecil kita atau saudara kecil lainnya, anak-anak di sekitar rumah, atau kalau perlu ikut komunitas yang kerap mengunjungi anak-anak. Perbanyak interaksi dengan mereka. Saya pribadi belum terlalu berpengalaman untuk poin yang satu ini. Saya belum banyak meluangkan waktu untuk berkumpul bersama para teman kecil. Siasatnya adalah dengan memperbanyak membaca buku-buku anak, menonton film anak-anak, atau program anak-anak di televisi. Pokoknya semua media anak, lahap saja. Lama-lama Anda akan jatuh cinta dan ingin kembali jadi anak-anak lagi.

5.Cek dan ricek
Poin ini juga kewajiban semua editor buku, pastinya. Jangan sampai ada bagian cerita atau kalimat janggal yang masih tertinggal. Mari kita jaga anak-anak dengan literatur yang bermutu, demi masa depan mereka.

Saat ini, intensitas menyunting buku anak memang sudah berkurang. Namun saya selalu berusaha meluangkan waktu untuk lebih mencintai dunia literasi anak. Mungkin saya akan mulai menulis lagi, mari kita lihat saja nanti. Bagaimana denganmu? Apa yang kamu baca dan tulis tentang teman-teman kecil kita hari ini? Mari berbagi kritik dan saran ^^


Saturday 25 May 2013

Kenapa Inggris?







Saya lupa kapan tepatnya mulai jatuh cinta dengan Inggris. Terserah deh Pak Karno mau main linggis karena saya suka Inggris. Tak ada yang salah dengan kekaguman terhadap bangsa lain selama tidak lupa identitas diri sendiri. Walaupun saya juga tak menjamin identitas saya terjaga. Namun karena ‘cinta tanah air’ diajarkan dalam Islam, baiklah, saya akan tetap cinta Indonesia. Terlepas dari itu, sebagai manusia kita juga harus saling mengenal bukan? Biar tetap gaul, tidak kolot, dan punya pengalaman baru.

Nah, Inggris untuk sementara ini adalah satu-satunya negara yang berencana saya kunjungi. Entah dengan cara apa, suatu hari saya akan ke sana. Dengan uang sendiri atau uang orang lain. Saya percaya bahwa untuk mencapai tujuan saya harus melewati beberapa tahap. Entahlah tahapannya apa, saya akan jalani. 

Suatu hari, ketika saya mendaratkan kaki di negara yang bahasanya dipakai orang di seluruh dunia ini, saya akan melakukan hal-hal menyenangkan. Sebagian mungkin menyenangkan buat saya saja, tidak buat Anda, hahaha. Apa saja memangnya? Hal-hal menyenangkan inilah yang membuat saya menyukai Inggris: 

1. Aksen khas. 

Teman saya yang kuliah pendidikan bahasa Inggris, pernah menyarankan agar saya melupakan saja aksen khas bahasa Inggris asli alias british english. Katanya, hari ini hampir tak ada lagi orang di seluruh dunia yang bicara dengan aksen british kecuali orang Inggris sendiri. Namun saya tak peduli. 

Bagi saya, cara bicara mereka sangat memaksa saya bilang bahwa mereka seksi. Meski mungkin orang lain mengumpat karena gaya bicara mereka yang terkesan malas bunyi ketika bernyanyi, terseret-seret, dan intonasi meliuk-liuk, bagi saya justru hal-hal itulah yang membuat saya terobsesi mempelajari cara mereka bicara. Saya bisa asyik sendiri hanya dengan mendengar mereka memusnahkan huruf ‘r’ di akhir kata. Dan itu masih sebagian kecil saja dari keseluruhan aksen khas mereka. Belum lagi ada banyak makna kata yang berbeda dengan bahasa Inggris yang biasa digunakan.



Jadi, ketika nanti saya berkesempatan mengunjungi Inggris dan berinteraksi dengan penduduk lokal, saya akan langsung jadi pendengar yang baik dan melongo terpana. Saya cuma akan bilang, “you give me everything just by speaking… 

2. Musik populer. 

Ya, band dan penyanyi dari Inggris adalah: bagus, bagus, dan bagus. Negara ini adalah pencetak musisi hebat kelas dunia. Musik populer hingga saat ini merupakan salah satu ekspor utama Inggris dalam bidang budaya. Musik populer dari negara ini mampu menjadi penyeimbang dominasi musik populer dari Amerika Serikat terutama semenjak terjadinya British Invasion dalam industri musik yang ditandai dengan bertenggernya single The Beatles di puncak chart negeri Paman Sam pada tahun 1964. 

Dan sekarang katanya ada British Invasion kedua yang ditandai dengan disambutnya One Direction oleh publik Amerika secara sangar. Banyak orang kemudian menyebut-nyebut peristiwa ini mengulang British Invasion pada dekade 1960-an. Tapi tapi tapiii, ya sudahlah ya, lupakan saja! 







The Beatles, Blur, Gorillaz, Arctic Monkeys, Oasis, Elton John, The Cure, Queen, Radiohead, The Rolling Stones, Coldplay, Muse, Camera Obscura, Keane, Gareth Gates, Deep Purple, Dido, James Blunt, Robbie Williams, Adele, Blue, dan buanyaaak lagi yang akan terngiang di telinga saya ketika melihat atau mendengar kata Inggris. Saya mulai khawatir, jangan-jangan saya mengagumi para musisi ini karena aksen menyanyi (lagi-lagi).




3. Dunia buku dan tulisan.

Selain gudang musik, Inggris juga surga buku. Sebagai orang yang pernah dua kali gagal mendapatkan pekerjaan di penerbitan (colong curhat), saya justru makin menceburkan diri dalam dunia buku. Dan Inggris adalah tujuan yang tepat. Indonesia tercinta pun ternyata banyak belajar industri kreatif dari negara yang pernah menjajahnya sebentar. Kini Indonesia dan Inggris merupakan dua negara di dunia yang mengelola industri kreatif di tingkat kementerian. 

Jeng…jeng…dan sektor penerbitan adalah salah satu penyumbang terbesar ekspor industri kreatif Inggris. Betapa penduduk negara ini pasti pintar-pintar, gemar menulis dan membaca. Mungkin harga buku di sana lebih murah daripada makanan. 







“Do you like book?” “More than food.” Mungkin bakal begitu jawabannya.

Kita tentunya juga tak menampik bahwa J.R.R Tolkien, Ian Fleming, Roald Dahl, hingga J.K Rowling berasal dari Inggris. Hawa-hawa literasi pasti terhirup sejuk di sana. 

4. Rumah bata tanpa cat dan ikon unik lainnya. 

Salah satu hal yang mungkin sebenarnya tidak terlalu khas tetapi membuat saya mengingat Inggris adalah bangunan dari batu bata tanpa cat yang membawa kesan kuno. Saya ingin berjalan-jalan mengelilingi gedung-gedung dan rumah-rumah seperti ini. 




Ada banyak hal lain di mana saya akan mengabadikan diri bersamanya, mulai dari plang kereta bawah tanah London Underground, sampai boks telepon umum. Bentuk unik yang terus dipertahankan ini kemudian membuat seseorang berteriak “Inggris!” ketika melihatnya.











6. Madame Tussauds.

Memang betul Madame Tussauds juga ada di Hongkong dan Bangkok. Lalu kenapa musti jauh-jauh ke Inggris? Ya, karena museum lilin legendaris ini pertama kali dibangun di Inggris meski Marie Tussauds adalah orang Prancis. Jadi rasanya tidak afdol kalau kaki menginjak Inggris tapi tidak mampir ke sini.




Hmm, ya! Jadi sejak saya menjadi beatlemania, saya pun menambahkan lagi satu cita-cita selain naik haji yakni berfoto bersama patung lilin The Beatles di Madame Tussauds (yang di Inggris). Karena, semenjak John Lennon tewas ditembak oleh Mark David Chapman, kita tidak bisa lagi minta foto bareng mereka berempat secara lengkap. Satu-satunya jalan untuk bisa berfoto bersama keempat pria Liverpool ini adalah di Madame Tussauds. Dengan satu catatan, mereka tidak bisa gerak dan bicara.

Demikianlah hal-hal menyenangkan yang membuat saya berniat pergi ke Inggris. Kita tunggu saja postingan ajaib ketika saya sudah menginjakkan kaki di sana. Semoga blogspot masih eksis lah ya di masa depan. Sampai jumpa, saya mau menabung dulu buat beli tiket penerbangan langsung, visa piknik, paspor, dan uang jajan. 

Atau ada yang tidak tega saya menabung cuma buat pergi ke Inggris? Kesempatan terbuka lebar untuk memberikan penawaran halal bin masuk akal. Asal ada jaminan makan tiga kali sehari, mandi, tidur, dan salat di Inggris selama minimal satu bulan, saya siap! :D         
 

Sumber gambar:
http://albumoriented.files.wordpress.com/2013/01/140-hairy-heart-01.gif
http://letstip.com/app/webroot/uploads/UK%20vs%20US%20English_Part%20II.jpg
http://i.imgur.com/vqBhk.png
http://www.pello.co.uk/images/blog/music-map-great-british-bands-art-by-pello.gif
http://opinibuku.files.wordpress.com/2011/01/i-love-book.jpg
http://inquisitiverobin.com/wp-content/uploads/2009/07/british-house.jpg
http://libcom.org/files/images/library/London-Underground1.jpg
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb...jpg
http://travel.smart-guide.net/wp-content/uploads/2009/08/The-Beatles-at-Madam-Tussaud-in-London.jpg